25

337 54 3
                                    

Kelar acara ngopi dan saling berbincang hangat, Kellan mengajak semua orang mampir ke Mothercare, beralasan bahwa ada satu stel baju bayi yang menarik perhatiannya saat mampir kemarin dan akan dibelinya.

Diam-diam, Gia tertarik mencoba beragam tester produk perawatan ibu dan anak. Mulai dari body foam, hand and body lotion, hand cream, moisturizer, hingga compact powder.

Emil sih asal sibuk menemani saja meski belum terlalu mengerti, sesekali mengecek ponsel, siapa tahu ada update pekerjaan.

"Bagus mana?" Kellan menunjukkan sepasang mini lace dress biru pastel dan krem kecoklatan pada Gia dan Nira.

"Kenapa nggak dua-duanya aja? Lucu semua, Kak!" Jemari Nira memegang bahan pakaian tersebut. Lembut sekali.

"Disuruh emaknya hemat. Bolehnya satu doang." Sahut Kellan, ditertawakan oleh Emil dan Gia.

"Gue sih suka yang kanan, warna biru udah pasaran soalnya." Cakra berpendapat. "Tapi terserah lo sama Iche juga sih."

"Gue prefer krem juga, BTW. Not bad. Looks good."

Begitulah Kellan, sukses memunculkan senyum Emil di kala Gia menyodorkan sepasang pergelangan tangannya, meminta Emil mengendus dan memberi keputusan soal hand cream.

"Wanginya enak yang mana?"

"Tangan kiri kamu."

"Stroberi, ya? Sama. Ada aroma mawar gitu juga sekilas. Ah, apa aku ikut beli juga, ya? Sayang... bagus-bagus nih, diskon pula."

"Beli aja, Gi, nggak apa-apa."

"Serius, Mil?"

"Iya, sekalian beli baju bayinya juga gih. Siapa tahu mau nabung sebelum bikin... ARGH!! Sakit, Yang!"

Perih, itulah yang Emil rasakan saat siku Gia menyodok sisi perutnya.

Jangan salah, Gia cukup sering menjuarai lomba karate se-nasional selama SMP dan SMA. Macam-macam sedikit, habislah kekasihnya.

"Hobi banget ngomong nggak disaring." Gia mendesis tak habis pikir. "Ya udah deh, ini aja. Toh bedak masih ada, sabun di rumah belum habis."

Akhirnya Gia ke kasir membawa sebotol kecil hand cream pilihan ditemani Emil, seraya menyaksikan dua pasang teman kekasihnya sudah berada di luar toko.

Transaksi dilakukan, Emil dengan santai menyerahkan debit card kepada petugas.

Belum ada satu menit, tiba-tiba...

"Maaf, Pak, kartunya declined."

"Bisa pakai kartu kredit, Mbak?"

"Bisa, Pak."

Berusaha tidak panik, Emil memberikan dua macam kartu lain berupa credit card pribadi dan corporate card.

"Maaf, sudah dicoba dan declined semua, Pak."

Mampus.

"Saya bayar pake tunai aja ya, Mbak. Sebentar." Cukup tergesa, Gia membuka dompet dan memberikan sejumlah uang tunai sesuai harga.

Transaksi berhasil, mereka berdua sama-sama berlega hati. Walau Emil harus sangat ahli menutupi rasa malu, bingung, kesal, marah, dan sedih yang teraduk rata.

Okelah kalau memang kartu debit dan kreditnya tidak bisa digunakan, bisa jadi tagihan bulan ini belum terbayar, atau ia sempat membelanjakan sesuatu hingga isi rekeningnya berkurang banyak.

Tapi... corporate card? Yang bener aja, bruh!

"Mau makan di mana nih kita?" Cakra memimpin jalan.

"Hanamasa boleh, nggak? Udah lama nggak sharing makan daging bareng." Usul Kellan.

"Saya ikut Bapak-Bapak sekalian aja." Kata Iche.

Nira mengangguk yakin. "Sama, terserah deh."

Langkah kaki mereka lantas berhenti di tepi eskalator, memikirkan santap malam apa yang nikmat.

Namun mengetahui raut muka Emil tak mengenakkan, Gia lantas bertindak.

"Maaf, Kak. Saya sama Emil kayaknya mau pulang ke apartemen Emil aja, soalnya banyak bahan makanan di kulkas yang habis dibeli. Kita mau masak aja di sana, nggak enak kalau disimpen lama-lama."

Terperangah, Emil sampai kehilangan prakata.

"Wah, kita boleh ikut, nggak? Asyik tuh masak-masak bareng!" Sambar Cakra senang, diikuti anggukan semangat Nira.

"Iya, Mbak Gia. Seumur-umur, aku belom pernah maen ke apartemen Bang Emil. Penasaran kayak apa isinya!"

"Gue sih ayo aja, gimana yang punya rumah mau bolehin atau nggak."

"Kalau boleh, saya mau minta tolong sekalian tidurin Leisha di kamar apartemen Emil, Gi. Dari tadi dia mulai nggak nyaman, khawatir kalau rewelnya kambuh di sini."

Kellan dan Iche menatap Gia penuh binaran harap, bagaimana mau menolak? Yang hanya Gia mampu lakukan kini ikut memandang Emil, memohon persetujuan sang pemilik tempat tinggal.

Sementara keresahan itu hancur berkeping-keping. Patutlah Emil bersyukur memiliki problem solver sebaik Gia yang berprinsip tetap memprioritaskan kebersamaan, tanpa mengeluarkan materi lebih banyak.

Sejujurnya, inilah yang Emil sukai dari profesi Gia sebagai pengusaha toko kado, dapat membantu kesulitan pengaturan adalah keinginan Emil dalam memilih istri.

Sungguh jiwa pria akuntan, rupanya.

"Ya udah, tunggu apalagi? Let's go."

Bagus, Gia, Emil kembali percaya diri berseru senang kepada teman-temannya.

Lupakan pujasera dan restoran mahal, Gia senang bercerita kepada Iche dan Nira mengenai kelihaiannya memasak makanan pedas untuk Emil, ditimpali kejenakaan Cakra soal kebisaan Nira yang baru mencapai keahlian pengolahan sayur bayam dan bakwan jagung.

Tentu saja, dibumbui tawa ngakak semua orang.

Memasuki mobil masing-masing di tempat parkir mall, Gia langsung memeluk Emil sebelum mesin dihidupkan.

"Tahu, nggak? Aku pernah ngutang pas jajan makan siang di kantin kampus, nunggak bayar kos dua bulan, sampe makan mie instan seharian gara-gara uang dari papa sama mama telat dikirim."

"Semua orang pasti mengalami kesulitan yang sama, Lio. Kamu nggak sendirian. Aku malah seneng bisa lihat sisi kamu yang sebenernya hari ini. Karena gimana pun, kamu pengen banget bisa tanggung jawab soal aku secara materi, kan?"

"Terima kasih, Lio. Nanti pas sampe di apartemen, bikinin aku mie goreng udang andalan kamu, ya? Lagi pengen banget nih."

Suara manja si gadis menyentak alam bawah sadar Emil, seketika bersyukur atas karunia yang tiada habis berada melingkupi hubungan manisnya dengan Gia.

"I will, sweetheart. Thank you for supporting me at all."



***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt