20

396 56 5
                                    

Ketidak sadaran jiwa hampir merenggut alam bawah sadar Gia kala menemukan Kelsie di dapur apartemen Emil, tengah membuat secangkir kopi.

Baik Emil mau pun Gia tidak berani bertukar anggapan melalui pikiran. Sekantung plastik berisi kebutuhan apartemen yang telah dibelanjakan, Gia letakkan ke atas meja tanpa mengucap sepatah kata, diiringi senyum yang ditujukan untuk Kelsie.

Dan pastinya, dibalas sama persis.

"Temennya Emil, ya? Kenalin, Kelsie." Gadis bersurai panjang kekuningan itu mengulurkan tangan ceria, memastikan bahwa ia tidak menyimpan niat jahat.

Teman?

Tawa Gia menggelegar, mengagetkan sepasang insan di hadapannya.

"Duh, maaf... saya cuma ngerasa lucu aja, kalau orang lain lihat saya pasti sering dibilang begitu. Saya Gia, salam kenal."

Padahal Emil tahu.

Tawa barusan adalah bentuk dari endapan kecewa Gia, yang menginginkan adanya quality time antara dirinya dan Emil, berujung kekalahan.

"Ehm.. Kelsie, kamu udah lama di sini? Kenapa bisa masuk?" Tanya Emil super penasaran.

"Baru sampe kok. Ternyata kode kunci apartemenmu tuh masih tanggal lahirmu, Mil? Gila, nggak pernah berubah kamu orangnya. Cuma aku nggak nyangka, kamu udah se-sukses ini."

Kelsie sibuk melihat-lihat, mengabaikan Gia berputar menghadap dinding, diikuti Emil di belakangnya.

"Aku baru aja dateng. Kalian mau kubuatin kopi? Atau mau teh hijau?"

Tersentak, gadis itu lantas menggeleng kuat saat ditawari minuman kesukaannya oleh Kelsie.

"Makasih, Kelsie. Tapi aku mau langsung pulang, nggak enak udah ditunggu keluarga di rumah."

"Aku anter," cetus Emil. "Sebentar ya, Kel."

"Oke, Mil. Hati-hati, Gia." Senyum kasih Kelsie menghampiri, merengkuh niat Gia untuk secepatnya pergi dari tempat terkutuk ini.

Pintu lift terbuka, membawa Emil dan Gia turun ke lobby utama. Tampak jemari lentik itu cukup emosi mengetik sesuatu, menitik beratkan gundah gulana Emil yang belum melepaskan genggaman tangannya dengan Gia.

"Aku mau naik taksi."

"Dan kamu mau aku nggak bertanggung jawab udah biarin kamu pulang ke rumah sendiri?"

"Terus, kamu bakal tinggalin Kelsie?"

"I can text her 'lil bro to pick her up."

***

Sakit, serasa dirajam jarum penindas mimpi.

Pilu, bagai diikat kencang oleh lilitan rasa tak bermakna.

Sedih, bila mengenang semua terjadi karena perkenalan yang dilakukan seorang ibu demi kebaikan anaknya.

Kebebasan mencintai dan memiliki belahan jiwa untuk diciptakan bersama memang dibutuhkan landasan kepercayaan dan keyakinan.

Namun, sudikah Gia membagi kedua dasar teori itu untuk Emil praktekkan?

Nyatanya, bisa jadi Emil melupakan resolusi penting karena ulasan memori yang belum rampung dituliskan, di atas tinta merah pericuh ketulusan.

Tidak, Gia tidak menangis. Dan Gia pun tidak protes.

Di tengah jalan sambil mendengarkan alunan lagu-lagu romantis dari stasiun radio Delta FM, di mana lagu Walking in The Rain menemani diamnya mereka, ketegaran Gia justru meluaskan keinginan Emil agar menepikan mobil sementara.

THE SAFEST PLACE ✔️Where stories live. Discover now