7

500 72 7
                                    

"Gia, kenapa sih kita nggak ketemu aja dari dulu? Pacaran dari pas SMA atau kuliah, kalau sekarang kok kayaknya telat banget.."

"Nggak ada kata telat untuk saling mengenal, Lio."

Buru-buru kepala terangkat dari pangkuan Gia di atas ranjang apartemen, Emil mengerjap terkejut.

"Kamu.. panggil aku apa barusan?"

"Lio. Emang kenapa?"

"Kok nggak nyebut 'Mil' lagi?"

"Hehe.. pengen aja. Suka, nggak?"

Bukan suka lagi dia, Gi. Ketagihan sepertinya. Cengiran Emil tiba-tiba melebar menggila, menciptakan tawa indah Gia selama turun hujan belum dapat mereda meski waktu hampir menunjukkan pukul enam sore.

Kok berduaan melulu, ya, mereka? Memangnya Gia tidak membuka dan menjaga toko?

Kalem, para hadirin. Toko hari ini diurus oleh tiga pegawai Gia cukup handal, membuat Gia betah bersantai menonton drama Korea, entah apa judulnya.

"Gia,"

"Apa?"

Posisi Emil sangat mengenakkan. Bantal duduk di atas paha Gia menyangga kepalanya, tubuh meringkuk memeluk guling, seolah menikmati pergerakan waktu di antara mereka berdua.

Tiada ejekan, kekasaran, kejahilan bermulan hanya komunikasi saling puji dan menyayangi terlontar.

Ingin sekali masa tua Emil diliputi bahagia begini. Apalagi dikelilingi belasan cucu.. wih, sedap.

Duhh.. seseorang tolong bantu sadarkan Emil. Ia termakan pusing oleh harga hunian di Jabodetabek, hingga otaknya sulit menyerap asupan bergizi.

"Gia,"

"Apa sih?"

"Aquilegia Danantri. Namamu unik. Aku suka."

Apa kabar detak jantung, Ibu Gia? Semoga senantiasa selamat sejahtera sehat sentosa.

"Makasih." Sebaris sahut pelan Gia menggelitik sanubari Emil.

"Siapa yang kasih nama pas kamu lahir?"

Pengen tahu banget, Pak?

"Bang Nicky. Pas kelas 1 SD main ke Taman Bunga Nusantara, dia suka sama salah satu bunga di sana. Pas dikasih tahu tour guide kalau bunga itu namanya Aquilegia, Bang Nicky bilang sama mama yang lagi hamil aku, kalau adiknya nanti terlahir sebagai perempuan, pengen dinamain begitu. And now, after a long long time.. I'm here. Right?"

"Abang kamu beneran pinter, nggak heran kamu cantik nggak ada obat gini."

Jemari Emil menjelajahi kontur wajah Gia, secercah kagum menyeruak mengisi batin Gia yang bermekaran.

"Nah, Danantri artinya apa?" Lanjut tanya Emil.

"Gabungan dari Dani dan Tantri, nama orang tuaku."

"Ooh.. kalau aku sih nama belakang Setiawan emang marga keluarga."

"Siapa?"

"Marga keluarga papaku."

"Yang nanya?"

Sadar sedang dikerjai karena kini tawa Gia menggelegar, Emil terduduk cemberut.

"Duh, ampun.. rambut berantakan bener. Gunting aja boleh nggak sih?"

Gemas Gia menyentuh dan menyisiri rambut Emil yang memanjang, setiap kali disarankan ke barber shop tak henti jutaan alasan keluar dari mulut akuntan tampan itu.

"JANGAN!" Cegah Emil, menangkap tangan Gia dan menempelkan ke pipi hangatnya. "Kamu lucu juga, Gi, kenapa aku baru lihat sisi humormu sekarang, ya? Aku beneran nyesel lho ini.. harusnya kita sahabatan dari kecil, jadian dari SD, tunangan pas kuliah, biar kalau sekarang kita.. udah.."

"Udah apa?" Tegas Gia lembut.

"Udah.. hmm.. ya gitu."

"Gitu apaan sih, Lio? Nggak jelas banget deh ih."

"Ya, harusnya sekarang kita udah nikah. Bener, kan?"

Mampuslah.


***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Where stories live. Discover now