5

702 81 6
                                    

Gia tinggal bertiga dengan mama dan kakak lelakinya, Nicky, di sebuah rumah empat kamar. Mama sebagai ibu rumah tangga, tekun mengurus dan merawat Nicky serta Gia sejak matahari terbit hingga langit menggelap sempurna, di kala papa harus menetap di Bandung dan pulang setiap weekend.

Nicky sendiri bekerja sebagai PNS di kantor walikota Jakarta Utara, betah membujang, entah kapan akan berpasangan seperti adiknya. Yang jelas, mama dan Gia tak pernah mau menanyakan lebih lanjut.

Terserah si abang sulung saja, bisa dan mau menjadi tulang punggung keluarga.. mama dan Gia sudah sangat bersyukur.

Hingga suatu siang ketika toko kado bernama Star Crush milik Gia tengah tutup karena libur, motor beat Nicky sudah masuk ke garasi rumah, memaksa Gia yang sedang asyik chatting dengan Emil harus berhenti dan membukakan pintu untuk kakaknya.

"Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam. Abang kok udah pulang? Baru jam tiga. Bolos, yaa?"

"Apaan? Orang ada rapat di Karet, sekalian aja pulang pas udah selesai, kerjaan di kantor juga beres tadi pagi."

"Emang boleh PNS pulang cepet?"

Sungguh polos pertanyaan Gia, pantas Nicky suka mengacak-acak rambutnya kemudian buru-buru naik ke lantai dua.

"Abang udah pulang, Kak?" Tanya mama, baru keluar kamar sehabis membaca buku.

"Tahu tuh ke kamar. Nggak ngerti ngapain." Gia mengangkat bahu cuek. "Eh, Ma, nanti sore Kakak izin pergi sama Emil, boleh? Mau beli sesuatu. Hehehe.."

Mama mengikik geli. Tumben Gia meminta izin langsung padanya tentang Emil, biasanya kalau tidak lewat pesan singkat, pasti Emil akan menghubunginya langsung melalui telepon rumah.

"Boleh atuh, Kak. Emil sering-sering ajak main ke rumah pun nggak apa-apa. Kalian teh udah pada gede tapi pacaran masih kayak anak SMP." Jawab mama tak habis pikir.

Belum sempat Gia mengutarakan kata, Nicky cepat-cepat menuruni tangga dan bergegas berlari ke luar rumah.

"Abang kenapa sih kayak kesetanan gitu?!" Seru mama.

"Maaf, Ma. Abang ada kepentingan darurat menyangkut masa depan! Abang balik ke kantor lagi, ya!"

"Hati-hati. Emang pulang dulu ngapain, Bang?"

Curiga si mama, itu anak sulung satu kenapa cengar cengir layaknya bocah baru ketemu layangan tersangkut sih?

"Lupa bawa charger, Ma. Assalamu'alaikum." Pamit Nicky. Tak sampai lima menit, deru suara motornya berkurang seiring kepergiannya kembali ke tempat kerja, meninggalkan gelengan penuh tanya bagi mama dan Gia.

"Abangmu bener-bener.. charger dipikirin. Kapan bisa serius kayak Emil ke kamu sih, Gi?"

Kalau mama sudah tidak menyebut Gia memakai 'kakak', pertanda bahwa kalimat orang tua yang meluncur sebentar lagi tak dapat disangka sembarang, karena...

"Mama nggak masalah kalau kamu langkahin Nicky, Gi. Cowok sih terserah mau nikah kapan aja, lah kamu? Bisa dapet modelan macem Emil aja Mama sukses tahajud tiap hari saking bersyukurnya."

Nah, kan. Kicep deh Gia.

***

"Iya, Ma. Nanti Emil sampein ke Gia. Salam buat papa. Wa'alaikumsalam."

Rutinitas bekerja tidaklah berat dijalani Emil, selama para pegawainya kooperatif, job description beres sesuai tenggat waktu, dan lolos verifikasi.

Efisiensi Emil sendiri dinilai jempolan bagi sebagian bawahannya, terutama Nira, si junior accountant yang cukup akrab, berhubung kekasih tercintanya merupakan teman SMP Emil sewaktu di Bandung.

"Ciieee.. ditelepon mamaa.. ditelepon pacarnya kapan niih? PRIKITIIIWWW!!" Iseng Nira, diselingi siulan jahil oleh beberapa pegawai lainnya.

Semua penghuni divisi ini tukang menguping ulung, wajar jika Emil harus senantiasa bersiaga satu.

Fakta berlanjut mencengangkannya adalah satu pun tidak ada yang tahu bahwa Emil telah menjalin kekasih bersama Gia, dan sudah berjalan satu bulan. Aneh. Namun itu harus Emil lakukan demi agar kultur profesional di antara mereka dapat terjaga.

Curang, Emil ini. Soal gosip baru ia wajib tahu, giliran kabar terkini pribadinya dikunci rapat. Hmm.. kalau Nira tahu, engganlah ia membagi cokelat Godiva padanya.

"Berisik sumpah lo, Nir. Enak bener jadi kesayangan bos, udah mau resign.. dinikahin pula." Gerutu lelaki itu sembari memeriksa file hasil kerja Nira.

"Dih.. suka-suka gue sama Kak Cakra sih, Bang. Makanya, Bang Emil juga kerja yang rajin. Biar pas dapet ukhti shalihah nanti, gajinya nggak cuma bisa buat menuhin diri sendiri, tapi juga istri sama anak."

Mencoba bersabar atas godaan setan tak kunjung reda, Emil hanya mampu berdoa selagi Nira tertawa-tawa memandanginya menanda tangani file satu per satu.

"Buruan kasih pak bos bucin lo itu." Kata Emil datar sembari menyerahkan tumpukan file-nya pada Nira, yang disambut penuh sukacita.

"Yiihhaaa! Makasih, Bang Emil ganteng! Semoga lancar jodoh sama rezeki!"

Pintu ditutup, senyum Emil mengembang lucu. Sungguh hiburan sekali suasana kantor siang ini.

My Aquilegia ❤
Emil
Nanti sore jadi kan?

"Duh, tuan putri.. tahu aja pangerannya baru pengen chat."

Emilio
Jadi sayang
Emang kamu mau beli apa sih?

My Aquilegia ❤
Hmm bingung
Yang pasti pengen sama kamu 🙂

"MASYA ALLAH! NGGAK KUAT GUE BUSET BISA NIKAH SEKARANG AJA, NGGAK SIH??"

Tabah, Emil. Tabunganmu belum mencukupi DP KPR di daerah Serpong. Ingat itu.

Emilio
Serius nih
Kamu mau belanja parfum?
Baju?
Jam tangan?
Sepatu?
Atau mau coba kedai dimsum baru?

My Aquilegia ❤
Inget nggak
Kapan terakhir kita jalan bareng?

Emilio
Hmm 2 minggu lalu?
Pas beli sabun sama shampoo aku?

My Aquilegia ❤
Correct
Siapa ya yang ngidam häagen dazs?
Pas habis beli itu semua?

"Astaga!" Emil menepuk jidat.

Kok bisa Gia hafal keinginan tak tercapai Emill, soal rasa es krim yang mau dipesan ternyata sudah habis kala itu?

Emilio
Your brain is my best
Iya yuk ke sana yuk
Aku nggak mau kehabisan lagi 😐

My Aquilegia ❤
Hahahahahahahah 😂😂😂
Ya udah langsung ketemuan aja ya
Aku tunggu kamu selesai kerja
Jangan terlalu sibuk
Jangan terlalu capek
See u there 😊
18.30!

Emilio
86 giaku sayang
Makasih
See u soon
❤❤



***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang