4

784 83 7
                                    

Apartemen tempat Emil bernaung tergolong bersih dan rapi untuk ukuran pria dewasa dan mandiri. Dapur mengkilap yang jarang disentuh selain untuk memanaskan masakan, membuat teh, kopi, atau mie instan, serta tempat tidur berselimut sprei baru seminggu sekali, terang menjelaskan bahwa kehidupan Emil cenderung teratur sejak Gia menjadi pasangannya.

Sekotak tupperware berisi beberapa potong ayam ungkep bumbu kuning diambil Gia dari freezer, direndamnya dalam minyak banyak dan panas, sementara ia mengulek sambal dan menyiapkan nasi yang baru tanak.

Saat sup mulai matang mendidih, tangan Gia cukup cekatan mematikan salah satu kenop kompor.

"Mau makan di sini atau depan TV?" Tawar Gia kepada Emil yang sedang mengeringkan rambut pasca mandi dan keramas menggunakan handuk.

"Di sini aja, sayang, temenin."

Sang kekasih membolak-balik ayam dalam penggorengan, menuruti kemauan pangeran pemilik properti ini seraya menduga...

...pasti dia mau menonton sinetron bertema taubat.

"Kamu nggak mandi sekalian?" Emil meminum air sembari memperhatikan cara Gia memasak.

"Tunggu ini selesai dulu, tanggung."

"Tinggal ayamnya doang, kan? Udah biar aku aja, sekalian aku siapin lainnya juga buat kita."

"Beneran? Jangan sampe gosong tapi!" Gia memperingati sambil tertawa.

Sayang, Emil keburu membungkam kerenyahan itu dengan sebuah ciuman di kening gadisnya.

"Jangan suka ngeremehin orang deh, Gia manisku. Sana mandi yang wangi, biar calon suamimu betah deket-deket kamu pas makan nanti."

Mau menolak? Cari mati si Gia.

***

"Nggak ada acara lain emangnya?" Protes Gia di sela makan malam mereka. "Nggak tega aku, Mil, masa' ibu mertuanya dari tadi disuruh-suruh istri anaknya terus.."

Terbawa suasana, Gia akhirnya ikut menyaksikan tayangan favorit Emil sehari sebelum malam Minggu tiba itu. Berbeda dengan ekspresi serius Emil yang asyik makan tanpa merasa terganggu.

"Pengingat buat kita, Gi. Kalau punya orang tua atau mertua itu harus dihormati, dihargai, disayangi, jangan diperlakukan kayak mesin ATM, apalagi pembantu." Sahut Emil super santai.

Kalimat hamdalah meluncur di lubuk hati Gia begitu iklan terpampang. Lekas ia mengambil remote, mengganti saluran ke HBO.

Harry Potter and The Goblet of Fire di channel itu telah sampai pada adegan pesta dansa turnamen triwizard, menyenangkan Gia beserta Emil yang merupakan penggemar berat cerita berseri fantasi tersebut.

"Gi," panggil Emil usai meredakan pedas sambal di mulut lewat air dingin. "Kalau kamu jadi Cho Chang, kamu bakal milih dansa sama Cedric atau Harry? Terlepas siapa yang duluan?"

"Hmm.. jujur, kalau aku jadi Cho, aku bakal milih Harry." Cetusnya seketika.

Penasaran? Tentu.

"Aku lebih suka cowok pemberani, terus terang, risk taker, dan penyayang. Cedric menurutku keren, ganteng banget, dia juga jago, tapi nggak tahu kenapa... andai aja Cho sama Harry, atau Harry sama Luna Lovegood, aku lebih suka aja lihatnya."

Mengangguk-angguk paham, Emil mendengar seksama perkataan Gia.

"Tapi ya udah, namanya cuma cerita fiksi.. mau gimana lagi, toh bukan aku yang nulis. Hehe.."

Begitulah Gia.

Pembangkit semangat Emil.

Peluruh lelah Emil.

Penemu perspektif lain yang Emil kagumi.

Heran, kok bisa sang ibu menemukan perempuan semanis Gia untuk dikenalkan padanya? Emil sendiri tidak menolak, malah ketika pertama kali mereka bertegur sapa, justru rasa grogi menggerogoti kepercayaan diri seorang Binusian tahun 2013 itu.

"Emil," petikan jari Gia di depan mata menyadarkannya perlahan. "Hei, sadar nggak sih kamu dari tadi bengong terus? Mikirin apa sih? Capek, ya? Banyak kerjaan?"

"Ah, nggak.. aku cuma ngantuk sedikit. Maaf. Ehm.. kamu sendiri, gimana di toko tadi?" Pengalihan isu, biasa.. sengaja Emil sembunyikan bukti budak cintanya agar tidak mudah diketahui.

"Ada beberapa barang baru, ada juga yang laku. Eh, tahu nggak? Hari ini yang beli kebanyakan anak SD sama SMP. Lucu banget deh mereka!"

Maka sekali lagi.. Emil biarkan kisah Gia mengalir indah tentang kesibukannya hari ini, dipandanginya butir mutiara murni terpantul di bola matanya yang cemerlang, terkadang sukses membuat Emil amnesia bahwa ia bukanlah remaja tanggung semasa SMA yang jatuh cinta pada teman sekelas.

Haruskah ada kilas balik menyambut, agar kalian tahu mengapa hal ini bisa terjadi?




***BERSAMBUNG***

THE SAFEST PLACE ✔️Where stories live. Discover now