"Coba jelasin dari mana kamu lihat hubungan aku dan Merdeka udah sampe tahap pdkt? Soalnya jujur aja, ekspektasi itu jauuuh bangetttt," kataku. Entah mengapa aku jadi mulai dekat dengan Ibra. Dia enak diajak curhat. Apalagi potongannya juga sama seperti Merdeka. Dia kalem, tidak terlalu banyak bicara, tidak heboh, pokoknya golongan anak manis.

"Kamu ingat waktu Deka nendang bola ke kepala aku? Aku takut banget walau dia bilang nggak sengaja," ungkap Ibra meringis.

Aku ingin tertawa. Saat itu aku juga ketakutan. Merdeka bilang tidak sengaja, tapi wajahnya bengis banget. Apalagi kata orang-orang yang ada di sana Merdeka memang saat itu sengaja minjam bola untuk nendang ke Ibra.

"Dia bilang nggak sengaja tapi aku tahu dia pasti sengaja," kata Ibra lagi. Sekarang dia menatapku seolah ini semua adalah salahku. Berarti Ibra juga meyakini kalau Merdeka menyukaiku. Banyak yang sependapat, tetapi aku tidak yakin jika Merdeka tidak kunjung bergerak. Dia tipe cowok silent, bergerak dengan halus, tinggal tunggu saja hingga kami lulus sebentar lagi. Siapa tahu tiba-tiba aku sudah berpacaran dengan orang lain karena dia terlalu lamban.

"Ngomong-ngomong ... kamu ngajak aku makan bukan karena ada maksud lain kan?" selidikku. Ibra terlihat bingung dengan tatapanku yang menyelidik. "Kamu nggak naksir aku?" pertanyaanku ini langsung mendapat penolakan mentah-mentah darinya. Bagus deh.

"Mau bantu aku gak?" kataku langsung to the point.

...

MERDEKA

"Tenang, bentar lagi juga dia pulang."

Aku mengabaikan perkataan Bara. Aku tidak menunggu Dalila, aku hanya penasaran kenapa jendelanya tidak kunjung dibuka. Padahal siang ini cuacanya panas sekali, walaupun di kamar Bara menggunakan AC tetap saja panasnya menusuk. Aku lebih suka udara langsung dari angin yang berhembus. Aku menutup kembali jendela kamar Bara.

"Makan dulu," kata Bara menyodorkan kue yang dibeli orangtuanya. Ada beberapa kue yang merupakan kue khas Manado. Ada panada, cucur, dan nasi jaha. Di antara ketiga kue itu yang ku suku adalah cucur. Rasanya manis gula merah, tetapi yang paling enak bagian ujung luarannya yang kering. Dulu aku pernah makan kue ini di rumahnya Bara, aku jadi ketagihan.

Sambil makan kami bermain game, aku menggunakan laptop sedangkan Bara menggunakan PC nya. Aku jadi lupa niat awalku ke sini untuk apa, yang jelas aku jadi lupa waktu karena bermain game. Nanggung sekali jika kalian berada di ujung tanduk kemudian mati. Aku masih penasaran kenapa saat itu aku menyisakan satu bar nyawa. Sehingga aku ingin membalaskan kekalahanku. Kami terus bermain hingga hari sudah gelap.

Ponselku berbunyi. Ada telepon dari Bunda.

"Kenapa belum pulang?" tanya Bunda begitu panggilan teleponnya kujawab.

"Lagi main di rumah Bara," jawabku.

"Bukan main ke rumahnya Dalila?" Batin seorang Ibu memang paling dahsyat. Aku heran apakah bundaku itu mengirim mata-mata.

"Bukan," jawabku kalem.

"Rumahnya Dalila di mana?" Heran, kenapa Bunda malah tanya rumah gadis itu.

"Di samping rumahnya Bara."

Bunda tiba-tiba heboh. Aku juga bisa mendengar suara adik pertamaku si Isabella yang berteriak histeris. Semenjak pertemuan orangtuaku dengan Dalila di rumah sakit, Isabella sering menggodaku. Dia bertanya Dalila itu yang mana? Kelas berapa? Apakah Isabella mengenalnya. Pasti orangtuaku yang menceritakan hal ini pada Isabella.

"Pantesan nggak pulang rumah," celetuk Bunda. Aku tidak mau membantah. Biarkan saja. "Yaudah pulangnya jangan malam-malam ya," lanjutnya.

"Bang Deka semangat!!!!" teriak seseorang di telepon yang kutahu itu suara Isabella. Tak lama setelah itu panggilan telepon ditutup.

"Tadi suaranya Isabella?" tanya Bara. Aku mengangguk.

"Cempreng banget," komentar Bara. Aku tidak membantah, itu fakta.

Kami lanjut bermain game. Kemudian berganti membaca komik. Kata Bara beberapa komik yang ada di kamar adalah punya Dalila. Selera komik gadis itu sedikit aneh, dia suka membaca boys love, ada pula beberapa yang dipinjamkan pada Bara bertuliskan dewasa 21+. Rata-rata komik romance yang dipinjamkan, aku tidak tahu apakah Bara yang minta atau gadis itu dengan senang hati menyarankan Bara membaca ini.

"Lo suka baca ginian?" tanyaku menunjukkan sebuah komik boys love. Jujur ini jauh dari seleraku. Tetapi pecinta komik dan manga seperti ini memang banyak. Aku sering mendapati anak-anak perempuan menyukai genre seperti ini, komentar mereka bisa berjibun.

"Dipaksa sama Dalila. Katanya cuma mau mengingatkan kalau jumlah manusia di bumi ada 7,7 miliar jiwa dan dia turut simpati pada perempuan yang tidak punya kekasih karena saat ini yang tampan lebih menyukai yang tampan juga," jelas Bara.

Karena penasaran aku membaca beberapa lembar komik itu. Aku menghargai privasi seksualitas manusia. Tidak masalah kalian mau suka sesama jenis atau tidak, hati kalian ya kalian yang atur, bukan aku. Ngurusin hati sendiri saja sudah ribet, gimana mau ngurusin hati orang lain. Lagi pula kita sama-sama numpang hidup di dunia ini, jadi masing-masing saling mengatur hidup sendiri dengan membuat cerita hidupnya masing-masing. Sedangkan urusan melanggar norma keyakinan aku tidak mau banyak membahasnya, terlalu sensitif, tetapi kita semua tahu hal itu ada konsekuensinya di akhirat—entahlah aku tidak tahu apakah masih bisa dinegosiasikan dengan Atid atau tidak. Yang penting para lelaki di komik itu jangan mengincarku, walau aku tampan tetapi aku sudah punya orang yang kusukai.

Tiba-tiba Bara keluar ke balkonnya. Dia sibuk dengan seseorang di telepon.

"Buruan keluar," kata Bara pada orang yang ada di seberang telepon.

"Apaan sih, baru kelar mandi tauuu." Aku mendengar suara yang familiar.

Aku langsung keluar mengikuti Bara. Ku lihat Dalila dengan wajah kesalnya. Gadis itu memakai pakaian tidur, di kepalanya ada handuk yang melingkar. Pada wajahnya ada beberapa krim yang ditotol tidak beraturan.

"Ada yang nungguin dari tadi." Bara sialan. Kenapa pula dia bicara sambil menatapku seperti itu.

"Aku kira kamu mau nyusul ke restoran," kata gadis itu sambil mengusap-usap krim di wajahnya hingga merata.

"Nggak," jawabku. Aku tidak tahu mau berkata apa lagi. Aku sadar tadi aku bertindak seperti orang yang cemburu. Aku tidak mau kalau dia sampai berpikir aku sedang cemburu pada Ibra. Kepalanya bisa membesar, aku khawatir kepalanya akan bisa menggeser kerak bumi.

"Cuma penasaran aja tempatnya di mana. Rencananya mau ajak adik aku makan di situ," kataku. Dia manggut-manggut mengerti.

Krik ... krik ... krik ...

Aku tidak punya topik untuk dibahas. Dalila juga sibuk meratakan krim di wajahnya, sepertinya dia menunggu aku yang membuka topik duluan.

"Nggak ada lagi yang mau dibicarain? Aku balik ke kamar ya." Gadis itu betulan balik kanan.

"Dalila!" panggilku. Dia berhenti di tempat dan menatapku lagi. Ku lihat kali ini Bara yang melangkah masuk ke kamarnya. Membiarkan aku dan Dalila berdua.

"Bagaimana ... tadi acara makannya sama Ibra?"

Sekali Merdeka Tetap MerdekaOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz