Chapter 1

418 21 0
                                    

PLAYLIST : DAY6 LIKE A FLOWING WIND
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Lampu temaram di ruangan itu berakhir ketika cahaya muncul mengisi ruang kosong. Beriringan suara riuh tepuk penonton, pertanda penampilan berakhir. Satu persatu mulai keluar meninggalkan ruangan, beberapa masih duduk dan memeriksa ponselnya. Layar besar dihadapan mereka silih berganti menunjukkan deretan nama dan peran, pertanda apresiasi dan akhir. Ruangan itu hampir kosong, hanya ada seorang gadis. Seorang gadis yang masih duduk menatap layar besar itu. Meski pertunjukan telah berakhir. Matanya kemudian menatap layar ponselnya, seketika ia bangkit. Berjalan meninggalkan ruangan yang kini benar benar kosong. gadis itu terus berjalan, sampai ia berhadapan dengan pintu keluar. Seorang pria masuk, mencekal tangannya. Menarik paksa gadis itu untuk menyingkir dari pintu, sedikit menjauh dari keramaian.

"ra, maaf. Aku gak nyangka rapatnya bakal selama itu. Harusnya udah selesai, tapi klien terus nanya, aku gabisa pamit." penjelasan pria itu memperjelas semuanya, harusnya gadis itu tidak duduk sendirian. Harusnya ia tidak menyaksikan film itu sendirian.

"ini bukan pertama kalinya kamu kaya gini, aku udah gak kaget." gadis itu melepaskan tangannya pelan. Terlihat ia tidak berniat banyak bicara. Matanya menatap kebawah, menghindari pandangan pria itu. Ia tau, jika ia menatap pria itu maka ia kalah. Ia akan memaafkannya semudah itu, seperti yang lalu.

"haera, look at me please." pria itu menarik pelan dagu haera, meminta perhatian. Meminta didengar. Haera menatapnya, gadis itu bisa melihat beberapa peluh keringat di pelipis pria itu.

"aku mau pulang Je. Aku ngantuk." sudah. Haera nyatanya memilih untuk menghindar, ia sudah cukup sering menghadapi kejadian seperti ini.

Haera benar benar berbalik, dengan langkah cepat meninggalkan bioskop tersebut. Dibelakangnya Jae mengikutinya dengan langkah yang lebih cepat. Beberapa kali ia berusaha meraih tangan Haera. Tapi gagal, gadis itu terus menepisnya. Jae tahu betul haera sedang marah. Ia tau bahwa sikapnya sudah keterlaluan, tapi ia tidak punya pilihan lain. Kliennya meminta meeting diundur sampai 2 jam, memakan waktu yang seharusnya ia gunakan untuk Haera. Sialnya lagi jalanan macet memperburuk keadaan. Ia terjebak dalam situasi yang membuatnya menyakiti gadisnya. Haera sebenarnya tidak akan semarah ini jika ini pertama atau kedua kalinya Jae mengingkari janji mereka. Ini sudah kesekian kali, puluhan kali sampai Haera muak. Bahkan baru minggu lalu Jae meninggalkan haera sendirian di acara makan malam keluarga mereka, karena klien yang meminta bertemu. Haera selalu dinomor duakan dengan pekerjaan Jae, bahkan sampai ditahun ke-enam hubungan mereka. Bukankah Haera sudah cukup sabar?

Jae masih berusaha menjelaskan semuanya bahkan sampai Haera sudah didepan tempat penjemputan taksi. Gadis itu menolak mentah mentah untuk diantarkan pulang, tapi Jae juga cukup keras kepala untuk menarik gadis itu. Jae cukup mengenal Haera dengan baik, dia tau gadis itu akan semakin berpikiran buruk jika kesalahpahaman terus dibiarkan.

"Ra, aku anter ya. Ini udah malem, bahaya. Kamu boleh marah, tapi aku anter kamu." Jae menarik tangan Haera, haera pasrah. Sejujurnya ia tidak yakin masih ada taksi yang ada di mall saat mall itu hampir tutup, ditambah lagi ini bukan hari libur. Mall tidak begitu ramai.

Haera masuk kedalam mobil Jae, aroma mint menyambut penciumannya. Pria itu selalu lekat dengan aroma mint, alasannya karena Haera. Gadis itu pecinta daun mint, alhasil semua barang Jae berbau mint. Mulai dari parfum hingga pengharum ruangan. Sepanjang perjalanan hanya ada keheningan, Jae tidak berusaha menjelaskan lagi. Ia memberi haera waktu untuk berpikir. Haera juga diam, ia memilih untuk menatap jalanan yang basah. Benar, hujan mengguyur malam itu. Sampai didepan rumah haera, hujan masih menemani mereka. Haera hendak turun sampai Jae menahan tangannya lagi.

"Ra, maaf. Aku bener bener gak maksud buat biarin kamu nonton sendiri. Aku kira kamu gak jadi nonton pas aku bilang aku ada meeting."
"Je, kamu serius gak sih mau nikah sama aku?" haera menatap Jae dalam. Mengunci pandangan Jae. Mencari kejujuran disana. Pria itu mengangguk tegas.
"aku serius bakal nikahin kamu, sejak 6 tahun yang lalu ra."
"tapi kamu udah bukan Je yang aku kenal 6 tahun lalu."
"bukannya semua orang pasti berubah? "
"aku tetap sama Je. Sama kaya aku yang tadi nunggu kamu dibioskop. Sama kaya aku yang minggu lalu nunggu kamu di coffe bar. Sama kaya aku yang nunggu kamu buat berhenti sama ambisi kamu." haera tegas, suaranya tidak bergetar. Jae menelan salivanya.
"minggu lalu kamu pergi pas kita makan malam keluarga. Didepan ayah aku Jae, didepan keluarga aku.  "
"aku bener bener gabisa nolak klien kemaren ra, kamu tau itu projek besar buat aku." selalu begitu. Pekerjaannya sebagai manajer perusahaan selalu menjadi alasannya.
"trus pernikahan kita itu bukan hal besar buat kamu?  Cuma aku yang ngerasa itu hal besar? Cuma aku yang butuh?" suara Haera tenggelam,tidak ada teriakan seperti biasanya ketika gadis itu marah. Hanya ada suara pelan yang menyakitinya, menyakiti Jae.
"gak gitu ra. Kamu tau aku sayang kamu. Gak mungkin aku gamau nikahin kamu. Semuanya buat kita ra, aku pengen nantinya kamu hidup nyaman."
"aku tau kamu sayang aku, kamu juga tau sesayang apa aku sama kamu. Tapi sayang kamu kekerjaan kamu lebih dari semuanya.  Dan sayang itu gak cukup buat pernikahan kita." Jae menggenggam tangan Haera, sepanjang hubungan mereka haera tidak pernah berkata seperti ini.
"Jae, kita kayanya harus pikirin lagi pernikahan kita." haera melepas tangan Jae. Keluar dari dalam mobil, menyatu dengan hujan. Jae diam, rasanya terlalu jauh untuk menggapai haera. Ia bingung, ia kira ia berjalan mendekati mimpi mereka. Nyatanya ia berjalan menjauh. Menyakiti haera adalah hal yang paling ia benci, nyatanya ia pelakunya.

Hari itu, 6 tahun hubungan mereka teredam dengan keegoisan mereka. 6 tahun mereka nyatanya tidak cukup kuat untuk meyakinkan mereka. Mereka dikalahkan ambisi mereka. Dibanding saling mengerti mereka memilih saling menyakiti. Mengalah memang selalu sulit, jika itu mudah maka tidak akan ada perpisahan. Haera sudah terlalu sering mengalah, sampai pada titik dimana ia melepaskan ikatan. Ia kira menunggu Jae sadar adalah cara terbaik untuk hubungan mereka, nyatanya Jae tidak kembali padanya. Jae hanya semakin jauh, sampai di titik Haera harus melepasnya. Tangan Haera sudah cukup terluka, karena menggenggam sayap Jae yang merontak tuk terbang. Jae kira ambisinya adalah untuk membahagiakan Haera. Nyatanya ambisinya memakan habis semua mimpinya dengan haera. Sebagai ganjarannya ia harus merelakan Haera.

Lantas apa?  Benarkah berpisah adalah cara terbaik untuk menghindari luka? Atau justu cara terpedih karena harus merelakan?

Break Up After LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang