Titan maju, seolah belum puas. Setelah ia sampai di hadapan bocah tadi, dia menendang perempuan itu dengan kasar. Membabi buta. Menimbulkan suara menyakitkan, erangan menyayat hati. Mengerikan, pria itu seolah tengah mengubah sosoknya. Dari lelaki dingin menjadi lelaki gila.

Jika dia pernah berkata Kevin tampak seperti psiko, maka sebenarnya Titan tidak berbeda jauh dengannya. Hanya saja, ia mampu mengendalikan karakter ini dengan baik hingga tak mampu diendus oleh siapa pun.

"Pelacur sepertimu memang harus diberi pelajaran!" serunya setelah selesai menghujam beberapa tendangan. Membuat wajah gadis itu membiru dengan bibir yang sobek dan darah yang keluar di mana-mana.

Titan mundur, lalu menatap nyalang pada semua anak buahnya setelah selesai melakukan aksi keji tersebut. "Aku ingin anak ini yang jadi pelacur utama malam ini. Aku tidak peduli bagaimana cara kalian menutupi memar itu, tapi jangan buat aku kecewa. Kalau hal itu terjadi, kalian tahu sendiri akibatnya."

"Siap, Tuan!" seru anak buahnya bersamaan.

Titan menatap jarinya yang berbekat gigi lalu meludah tepat di atas wajah gadis tadi. Kemudian, ia berbalik. Melangkah pergi dari tempat itu sembari menyunggingkan senyum puas. Sama sekali tidak menyesal dengan apa yang ia lakukan.

Bukankah sudah pernah ia bilang? Ia sama sekali bukan orang yang baik.

Titan Claimiliton, dia bisa berperan menjadi apa saja.

**

William menyandarkan tubuhnya yang terasa lelah dan menarik napas. Perkataan Myserille terus terngiang-ngiang di kepala membuat ia semakin merasa bersalah sekaligus benci dengan perempuan itu. Tidak ada salahnya mencintai seseorang, tetapi mencintai William yang jelas-jelas jahat padanya ... bukankah itu bodoh?

Tapi kau juga pernah mencintai Margo yang jelas-jelas mencintai Daniel dan hanya memanfaatkanmu, Will. Kau sudah lupa akan hal itu?

William mengacak rambutnya frustrasi karena suara dari benaknya sendiri. Ia tidak pernah mengerti kenapa kehidupan cintanya bisa jadi serumit ini. Seakan, ia tidak pernah ditakdirkan untuk bahagia.

Di sela-sela rasa gundahnya, suara bariton milik seseorang terdengar. Membuat William terlonjak dan langsung melotot ke arah pria familier yang entah sejak kapan berdiri di hadapannya.

"Apa yang terjadi padamu, Will?Kenapa mengacak-ngacak rambut sendiri seperti itu?"

William mengerjap, lalu berdiri. Dirinya tampak tak percaya dengan siapa yang berdiri di hadapannya, lalu sedetik kemudian ia memeluk pria itu. "Erick, kapan kau pulang?"

Erick Doughteen, kakak kandung Margo, sahabatnya yang sudah lama pergi ke luar negeri tanpa kabar untuk urusan bisnis akhirnya kembali. Lelaki itu tampak jauh lebih tampan dari sebelumnya. Mata hazel yang sama dengan milik Margo, rambut blonde yang baru William lihat, dan senyuman menawan bahkan ketika usianya sudah menyentuh angka 38 tahun tampak tak berubah.

Erick melepaskan pelukan William dan tersenyum. "Kemarin. Aku pulang untuk mengantarkan sesuatu."

"Apa itu?" William menaikkan alis. Penasaran. Erick tidak pernah memberinya hadiah apa pun.

"Ini." Erick merogoh kantongnya dan mengeluarkan sebuah kertas yang tampak mewah dengan dominasi cokelat emas. "Undangan pernikahanku."

"Kau menikah?! William membulatkan mata. "Dengan siapa?"

"Bukankah kau sudah menikah lebih dulu?" sindir Erick. William memang tidak mengadakan pesta besar-besaran di pernikahannya mengingat acara itu didasari paksaan. Jadinya ia tidak mengundang siapa pun kecuali kerabat dekat.

"Maaf. Itu ... perjodohan yang tidak kuinginkan."

Erick terkekeh. "Aku tahu. Aku sudah mendengar semuanya dari Mamamu." Lelaki itu menepuk-nepuk pundak William perlahan sebelum menarik napas. "Kuatlah, Will. Nantinya kau pasti bahagia, aku yakin itu."

"Pasti. Aku pasti bahagia," kata William yakin sambil menarik senyum tipis. Lengkungan yang bahkan sudah tak lagi terlihat selama tiga tahun untuk kali pertama menampakkan diri lagi. "Jadi, kau menikah dengan siapa?"

"Aku?" Erick tertawa sebelum melanjutkan. "Dengan wanita yang usianya berbeda 20 tahun dari kita."

"Dia 58 tahun?" terka William terkejut.

"Dia 18, bodoh!" Erick memukul tangan William keras. "Maksudku, apa aku terlihat seperti orang yang menyukai tante-tante?"

"Kau menikahi anak kecil?" William membulatkan mata.

"Dia bukan lagi anak kecil kalau kau mengenalnya," kata Erick sambil menarik senyum. "Ah, sudahlah. Kapan-kapan kuceritakan. By the way, jangan lupa datang, ya? Ajak istrimu."

"Istri?" William membeo. Lalu dia menarik napas. "Oh, iya. Aku punya istri."

Erick tertawa paksa. "Aku juga mengundang dia by the way. Perusahaan kami bekerja sama. Besar kemungkinan dia akan datang."

"Siapa maksudmu?"

"Titan," sebut Erick ragu. Ia menatap air muka William yang kemudian berubah. "Lelaki yang menikahi mantan pacarmu itu ... mungkin saja dia akan datang."

***

yang gaktau erick pasti ga baca the bastard that i love

Her Savior (SELESAI)Where stories live. Discover now