35. AURORABOREALIS • MISI PERDANA

Start from the beginning
                                    

Beberapa saat kemudian pintu kamar mandi terbuka dan menampakan Borealis yang tampak gagah dengan setelan jas itu.

Cowok itu menyernyit. Melihat Aurora sudah berganti pakaian dengan dress merah selutut yang melekat ditubuhnya. Dan jangan lupakan surainya sudah berubah menjadi warna blonde sebahu. Pasti itu rambut palsu, pikir Borealis.

"Kapan lo ganti baju?"

"Lo pikir ruang VIP ini sesederhana itu apa?!"

Borealis mendudukan diri dan nampak berpikir.

"Lo yakin nggak bakal ketauan?" tanyanya ragu.

Aurora mendekati Borealis sedikit membungkukan badannya. Dan memasangkan sebuah kumis palsu di bawah hidung mancung cowok itu. "Nggak bakal kalo akting lo meyakinkan."

"Anjir, apaan dah pake ini segala."

"Lo copot itu. Bakal gue copot nyawa lo."

Aurora meraih sebuah kacamata hitam dari dalam tas elegannya.

"It's show time," ucapnya sambil memasangkan kacamata itu di pangkal hidungnya.

🌈🌠

Dua orang pasangan dengan setelan jas hitam dan dress merah melangkahkan kaki keluar dari sebuah mobil sedan hitam yang sudah terparkir di depan gedung mewah bertuliskan Alison Group.

Dia Aurora dan Borealis.

Jangan tanyakan itu mobil siapa. Karena rencana ini sudah disusun sematang mungkin oleh Aurora.

"Lo jangan mencoba untuk menggagalkan rencana yang udah gue susun secara rapih ini ya Borealis Gareth Alison," bisik Aurora penuh penekanan.

"Permisi, Tuan dan Nyonya, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pegawai di kantor itu.

"Saya mau bertemu dengan Tuan Alison," ucap Aurora dengan nada bicara diimprovisasi sedikit.

"Oh apa, Nyonya, ini sudah buat janji? Masalahnya jika bel—"

"Janji atas nama Nyonya Rora dan Tuan Areth."

"Oh baik."

Borealis terbelalak di balik kaca mata bening yang menggantung di pangkal hidungnya.

Sangat terencana, bahkan gue nggak kepikiran untuk ini. Gila nih cewek niat banget, batin Borealis.

"Oh baik Nyonya di suruh naik ke lantai 7 di sana Tuan Alison sudah menunggu."

Aurora hanya mengangguk dan kemudian menggandeng lengan Borealis menaiki lift.

Lantai 7.

Di pojok ruangan terdapat sebuah ruang tamu mini menghadap kaca besar yang menampikan sebuah panorama kota itu.

"Selamat siang, Tuan Alison," sapa Aurora.

Afdal menoleh dan berdiri. "Oh ini, Tuan Areth dan Nyonya Rora ya? Mari-mari silahkan duduk."

Aurora dan Borealis mendudukan diri di hadapan Alison.

"Jadi, bagaimana? Ada apakah gerangan keluarga Edeline. Mantan kekasih cucu saya datang ke mari?" tanya Afdal dengan menekankan kata mantan di kalimatnya barusan.

Borealis mengepalkan tangannya di sisi badannya. Kalo saja bukan karena penyamaran ini sudah Borealis sudah mengumpat keras.

Aurora memahami perubahan Borealis. Dengan lembut dia menggenggam erat tangan Borealis yang terkepal. Perlahan kepalan itu menjadi lembut, lalu saling menautkan jarinya.

"Maaf, Tuan Alison yang terhormat. Bisakah Anda tidak menyebut kata mantan itu? Nyatanya itu hanya sebuah kesalahpahaman," jelas Aurora

"Tapi, saya menyukai kesalahpahaman itu, sebab cucu saya tidak lagi berhubungan dengannya dan tidak ada alasan untuk dia menolak perjodohan itu."

Aurora terkekeh. "Tapi, nyatanya Tuan salah. Bahkan sampai sekarang. Borealis dan Edeline masih menjalin hubungan dan masih saling mencintai."

"Apa?!" Raut wajah Afdal nampak tegang.

"Iya. Dan itu yang membuat saya sebagai tantenya datang kemari."

"Maksudnya?"

"Jika hanya karena hutang dari orang tua Edeline membuat hubungan Edeline dan Borealis tidak mendapat restu dari Anda. Maka mulai sekarang Anda sudah tidak bisa melarang mereka lagi."

Aurora memberikan sebuah tas koper hitam berisi uang dengan nominal 2 milyar di meja.

"Dua milyar. Hutang dari orang tua Edeline kan?" tanya Aurora meyakinkan.

Afdal terperangah. Bagaimana mungkin?

"Anda terkejut?" tanya Borealis membuka suara. "Dan tidak ada lagi yang bisa menjadi alibi Tuan untuk menentang hubungan Borealis dan Edeline."

"Tapi, bagaimana mungkin?"

"Nyatanya keluarga kami tidak semiskin yang Anda kira, Tuan Alison."

Borealis beranjak dari kursinya.

"Baik saya rasa pertemuan ini cukup. Saya harap setelah ini Anda tidak lagi mencari-cari kesalahan Edeline."

Mereka berdua pergi. Meninggalkan Afdal yang masih kalut dengan keterkejutannya.

Buru-buru mereka memasuki mobil sedan hitam dan melaju pergi.

"Anjir. Akting lo parah abis." Kagum Borealis sambil melepas kumis dan kacamatanya.

"Jelaslah. Totalitas banget kan gue" ucap Aurora sambil melepas rambut palsu sebahunya.

"Kakek gue sampe speechless gitu."

"Misi kita berhasil!"

"Anak olimpiade emang otaknya nggak pernah di ragukan."

"Yeah, you're right."

Aurora menatap keluar jendela dengan wajah sumringah.

Dan gue akan terus menepati janji gue, I promise. Selalu di sisi gue ya, gue harap lo juga menepati janji lo, batin Aurora.

"Eh, tapi gue masih heran sampai sekarang deh," celetuk Borealis membuat Aurora menoleh.

"Kenapa dari awal kita ketemu, lo jadi sering nolongin gue? Bahkan sampai ngebahayain nyawa lo sendiri?"

Aurora tersentak. Perempuan itu nampak berpikir.

Oh iya ya?

Perempuan itu bahkan tidak mengerti mengapa dia tiba-tiba melindungi Borealis. Di pertempuran dengan Dalton, sampai membuatnya masuk rumah sakit. Insiden rooftop yang menggemparkan. Hantaman dengan Alaska di markas Kingston. Dan yang paling parah pertarungan di Lapangan Braja yang sampai membuatnya hampir mati.

Aurora mengedikan bahunya. "Gue juga nggak tau."

"Lah lo aneh banget sih, reflek lo berlebihan tau nggak."

"Iya emang aneh sih, tapi gue juga ngga tau. Seolah ada yang menginstruksikan gue buat ngelindungi lo."

"Atau—"

"Takdir mengisyaratkan gue untuk melindungi lo supaya kita bisa kerja sama untuk menggagalkan perjodohan ini."

Aurora tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Borealis hanya menatapnya cengo.

***




Aurora Borealis [SELESAI]Where stories live. Discover now