11

28.1K 3.8K 295
                                    

"Mas Zhao akan jadi dokterku?" tanya Iris saat Pascal pulang dan menemaninya bersiap untuk pemeriksaan.

Pascal mengangguk, "Tapi masih nanti, kalau keadaan tulang belakangmu sudah dipastikan dan cukup kuat menerima terapi."

"Mas Zhao beneran jadi dokterku?" tanya Iris lagi, membuat Pascal menatap sang adik.

"Iya, tapi masih nanti... kamu termasuk istimewa lho, Ris... dirawat sama orang-orang nomor satu di rumah sakit ini."

"Mas Zhao nomor dua."

Pascal nyengir, "Di unitnya dia nomor satu."

"Enggak ada dokter lain memangnya?"

"Aku mau kamu dirawat sama dokter terbaik."

"Kalau gitu, aku minta dirawat di Singapore aja, atau Jerman."

Pascal geleng kepala, "Aku belum bisa pergi jauh, banyak urusanku di sini dan penting untuk selalu awasi kamu."

"Tapi aku—"

"Kenapa memangnya? Malu sama Zhao?" tanya Pascal, menyela adiknya.

"Ya... ya bayangin aja, aku 'kan perempuan, dirawat sama dia, temannya kamu."

"Bukannya bagus? Zhao bukan orang asing dan pasti lebih pengertian memikirkan keadaanmu."

Iris menggigit bibir bawahnya, memang benar bahwa Zhao bukan orang asing dan sudah jelas pria itu pengertian. Dengan intensitas seringnya Zhao mampir, sekadar menemani atau memeriksa apakah Iris baik-baik saja.

"Zhao bilang kamu dianggap seperti adik sendiri, jadi kalau dia baik..."

bla bla bla... Iris tidak mendengarkan lagi, justru termenung menyadari seperti apa posisinya setiap kali Zhao datang dan duduk di tempat Pascal berada kini. Ia tak lebih dari adik Pascal, tidak lebih dari pesakitan yang akan segera menjadi pasien Zhao.

Kenyataan itu, entah kenapa lebih menganggu dibanding rasa nyeri di punggung Iris.

== [flawsome] ==

"Jadi, selain aku enggak bisa mengontrol kemampuan buang air, aku juga enggak bisa mengontrol gemetar dan kesemutan mengerikan yang kurasakan tiap malam? Dan dosis obat penahan rasa sakitku justru dikurangi?" tanya Iris mencoba tidak memaki dokternya, terus saja ada hal buruk yang disampaikan padanya.

"Penting untuk tubuhmu mulai beradaptasi dengan keadaan ini, obat penahan rasa sakit bisa membuatmu ketergantungan dan itu enggak bagus," kata Hoshi.

"Keadaan ini sudah enggak bagus sejak awal, sudah tiga minggu aku enggak bergerak dari tempat tidur sialan ini!" teriak Iris, tidak peduli bahwa orang yang diteriakinya ini adalah orang nomor satu di Rumah Sakit. Yang dengan satu panggilan telepon bisa membuatnya dilempar ke jalanan.

"Keadaanmu membaik," ujar Hoshi mengangkat komputer tablet yang memuat hasil scan terbaru pasiennya ini. "Sudah waktunya tubuhmu mulai beradaptasi dengan keadaan yang sebenarnya. Jika kamu gemetar, kesemutan, nyeri, atau bahkan kedinginan, itu justru suatu kemajuan."

Iris berdecak, merasa keadaannya justru semakin mengerikan akhir-akhir ini. Ia bahkan ingin berteriak meluapkan rasa frustasi setiap kali tubuhnya tidak terkontrol.

"Minggu depan kamu akan dipindahkan ke ruangan yang lebih luas, di sana kamu bisa berteriak sepuasnya... bertahanlah sampai saat itu tiba." Hoshi memberi tahu dengan nada datar dan membuat Iris terkesiap.

Apakah semua dokter bisa membaca pikiran pasiennya? pikir Iris.

Meski tampaknya bisa membaca pikiran, Hoshi tidak pernah berusaha berbaik hati padanya. Setiap kali melakukan pemeriksaan, tidak tersenyum, tidak pula bersikap hangat, berbanding terbalik dengan Zhao. Hoshi bertanya hal-hal yang menyangkut keperluan perawatan. Saat menjelaskan hasil pemeriksaan juga, seburuk apapun hasil pemeriksaan, Hoshi menyampaikannya begitu saja. Tidak mencoba menggunakan istilah yang membangun harapan baik dalam benak Iris.

FLAWSOME #PasqueSeries IDär berättelser lever. Upptäck nu