7 | Yang Tersembunyi (1)

856 117 32
                                    

Arvin berdiri melipat lengan, sementara lima yang lain duduk di dek kapal, memegangi kalung masing-masing. Semua anak bertampang serius, beberapa ada yang mengejan sambil memelototi liontin segi enam. Galant yang pertama menyerah, menganggap ini adalah suatu kebodohan. "Sampai kiamat tidak akan berhasil."

"Sepertinya Tuan Kendrick telah salah memilih kita." Rei meletakkan kalung yang nyala birunya kini melindap.

"Ayolah ..., ke mana semangat kalian tadi, teman-teman?!" keluh Arvin saat anak-anak mulai berdiri meninggalkan tempat dengan muka kecewa. Ia memikirkan sesuatu yang mungkin bisa berhasil.

Tanpa aba-aba, api menyembur ke kaki Galant. Pemuda itu sontak meloncat dan membentak Arvin, "He, hati-hati!"

Anak-anak yang lain masih terpaku. Tak paham dengan jalan pikiran Arvin, karena yang terjadi berikutnya, api kuning kemerahan secara kontinu berusaha menjilati kulit putih Galant. Si pirang dengan naas harus berlindung di balik dinding dan pagar tipis. Ia tak punya senjata apa-apa kecuali yang menempel di badan. Mendekati Arvin bukan perkara mudah jika api terus-terusan muncul dari dua arah. Galant meloncat ke atap kabin, tetapi tanpa teknik parkour pun Arvin bisa dengan mudah terbang, seolah tangannya adalah mesin jet.

"Arvin, hentikan!" perintah Carrie serius. Arvin tak menggubris, justru Galant yang terkena tembakan telak, kini terpental dan jatuh dari ketinggian. Carrie tergopoh membantu pemuda itu berdiri. Akan tetapi, Arvin yang berniat menghalangi gerakan Galant dengan semburan api, malah mengenai tangan Carrie. Gadis itu menjerit memegangi telapak tangannya yang memerah. Beruntung api segera padam dengan beberapa kibasan. Rei menyusul. Raut mukanya panik dan marah sembari membawa Carrie menyingkir. Arvin sempat menyesali perbuatannya, tetapi melihat Galant dalam posisi lemah, ia tak ingin menyia-nyiakan kesempatan itu.

Arvin meloncat dan berdiri di atas tubuh Galant. Tinjunya yang dilumuri api hendak dihantamkan lurus-lurus ke wajah Galant. "Aktifkan kekuatanmu, bodoh! Aku tidak peduli kalau kau mati sekarang!"

Si pirang meremas kalungnya yang langsung bersinar merah, tetapi Arvin sendiri kecewa karena tak ada apa pun yang keluar dari tangan Galant. Mau tak mau, ia harus melakukannya, siap dengan segala risiko. Arvin mencekik leher Galant dengan tangan kiri, dan api di tangan kanannya siap mengayun.

Namun, gerakan itu terhenti oleh satu tarikan di siku Arvin. "Jangan berbuat sembarangan," ucap Mike sambil menggeret paksa tubuh Arvin menjauh. "Kalian bukannya sarapan, malah berkelahi!"

"Ah ..., padahal sudah hampir berhasil!" seru Arvin gemas meremas rambut ungunya. Galant duduk sambil terengah-engah.

"Tapi kau sudah berhasil membakar tangan Carrie, kok." Rei bersungut, sambil membantu gadis itu merendam tangannya di baskom.

Arvin segera meminta maaf, walaupun ia tak yakin Carrie benar-benar tulus memaafkannya, kemudian segera menjelaskan apa yang terjadi, "Kekuatanku bangkit ketika aku berada di antara hidup dan mati, saat penyerangan The Light di rumah kami dulu."

Rei sebenarnya sudah paham akan hal itu, tetapi melihat hasilnya yang malah membuat orang lain terluka, adalah sebuah kesalahan besar.

Mike sendiri tercengang. "Kau berusaha mengaktifkan kekuatan dengan cara ekstrem seperti tadi?" Polisi muda itu menepuk jidat.

"Ya ..., mau bagaimana lagi. pasukan Gavan bisa datang kapan saja," jelas Arvin. "Belva yang memberiku ide!"

Gadis berkacamata itu membuang muka.

"Oke, oke, pokoknya jangan diulangi lagi," tutur Mike sebelum ada perkelahian baru. "Untuk sekarang, kalian tidak boleh berbuat nekat. Kami di sini berjuang mati-matian untuk melindungi kalian, jadi jangan buat usaha kami sia-sia."

HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏Where stories live. Discover now