Prolog

3.5K 230 45
                                    

Sebelum lantai kayu cemara itu basah dan makin melapuk, Eter buru-buru menurunkan jendela. Tempelan kertas dan kalender bulan Desember di dinding samping pun berhenti berkelebatan. Anak itu segera mengelap halaman buku yang terkena tetesan air dengan ujung rok kumal, kemudian menumpuknya di sudut meja reyot dekat tempat tidur. Di luar, salju merayap seperti lalat yang sangat cepat. Sesekali angin menerobos masuk melalui celah dinding yang ditambal dengan kain bekas. Eter hanya bisa menumpu dagu di depan kusen jendela kamar. Jalanan depan rumah yang tampak dari lantai dua itu kini lengang. Anak-anak di pelataran rumah dipaksa masuk oleh orang tua mereka, mengabaikan kastel salju dan gerobak penuh mainan yang tercerai-berai.

Detik berikutnya, udara kamar mendadak jadi panas. Namun, tengkuk Eter ngilu seperti ditempeli es batu, sampai ia harus menggosoknya beberapa kali. Bersamaan dengan itu, suara parau anak lelaki terdengar sedikit menggaung. "Mau bermain di luar?"

"Jangan gila, Notus. Kau tak lihat badainya?" Kelopak mata Eter hanya ketap-ketip, tak mau beralih dari jendela. Iris ungunya berkilau keperakan memantulkan cahaya rembulan. Bayangan putih di belakangnya bergerak dan membesar menyerupai asap dari cerobong perapian. Saat sosok itu bergeser menuju arah sinar, barulah tampak wajahnya yang berpendar seperti kristal. Matanya sempit dan meruncing ke atas, sejajar dengan celah mulut yang melebar.

"Musim yang dingin, gelap, dan memilukan. Saat hangat, cinta jatuh berguguran, bunganya ranum, dan dedaunan merelap...." Notus bernyanyi sambil menari lalu merebah ke lantai. Panjang tubuhnya membuat jarak dinding tiga meter terasa pendek.

"...keemasan," lanjut Eter, lantas tersenyum, seraya menoleh ke belakang.

"Eter?!" Kali ini suara perempuan, menembus pintu kamar yang terbuka. Hampir sama menggemanya, tetapi Eter bisa membedakan mana suara dari lantai bawah, atau dari alam bawah—entahlah, gadis cilik itu tak paham juga tepatnya di mana Notus berada. Notus tak mau bersusah payah menjelaskan hal yang tak penting. Namun semakin lama mereka bersama, semakin tak masuk akal jika bocah transparan itu tinggal di rubanah. Notus anti dengan laba-laba dan kecoa, sama seperti dia membenci perempuan tua yang suka mengatur.

Panggilan dari Bunda Sifa membuat Eter cepat-cepat menuruni tangga, dan Notus pun seketika lenyap ditelan udara. Di dapur, Eter menemukan seorang wanita dengan dagu lebar, dan mata cekung dikelilingi garis hitam. Baju merah yang ia kenakan kusut dan berlubang, persis seperti kulitnya yang berkerut-kerut dan menghitam di beberapa bagian. "Bantu aku menghangatkan sisa kalkun. Kita ada tamu nanti malam. Setelah itu kau harus membersihkan loteng dan lantai dua. Aku yakin banyak sekali remah-remah kukis yang ditinggalkan Jimi di lantai."

Eter tak mendengarkan sisanya, karena sudah hampir pasti berisi daftar kesalahan seisi panti yang harus ditebus esok pagi. Ia hanya fokus memperhatikan daging unggas dingin yang telah dipotong-potong, membuang beberapa semut dan bangkai lalat, lantas menaruhnya ke dalam oven. "Sudah lama sekali tidak ada tamu. Siapa yang akan mereka adopsi?" Terselip sedikit nada pengharapan dalam nada bicara Eter yang penuh hati-hati.

Bunda Sifa melirik mata Eter sebentar, kedua alisnya merapat, kemudian lanjut mengaduk kopi. "Mereka hanya mau mengadopsi anak dengan riwayat orang tua yang jelas."

Senyuman Eter memudar. Seharusnya tak perlu menanyakan itu. Hanya akan membuatnya sakit hati.

Seperti yang diperintahkan Bunda, gadis itu menyapu dan merapikan kamar tidur setiap anak di lantai dua selama lima belas menit. Dan selama itu pula Notus meracau sambil terbang ke sana ke mari, di belakangnya.

"Si Tua Sifa berbohong padamu! Dia terus mencari alasan agar orang-orang tidak ada yang mau membawamu pulang. Dia hanya berniat membuatmu jadi pembantu seumur hidup di sini. Kau seharusnya kesal, karena bisa bersantai seperti yang lain. Ya ..., memang benar kau adalah yang tertua. Tapi ayolah, aku sudah tidak tahan melihatnya. Kita pergi saja dari rumah ini!"

HEXAGON [3] | Sinestesia Indigo ✏Where stories live. Discover now