17

770 100 4
                                    

Semilir angin malam itu cukup membuat siapapun merapatkan mantelnya. Mungkin dicuaca yang dingin seperti itu, kebanyakan orang akan memilih untuk berdiam diri di dalam rumah. Tapi, kali ini beri pengecualian pada Beomgyu yang kini sedang menikmati tehnya di halaman belakang rumahnya yang terbuka.

Beomgyu tidak sedang cari mati diluar sana. Dia hanya sedang perlu udara segar agar otaknya bisa berpikir dengan jernih. Padahal hasilnya sama saja. Nihil.

"Orang bodoh mana yang ada diluar ruangan dengan kaus dan celana pendek sepertimu, eh?" ledek seseorang dibelakangnya.

Ah, Ryujin. Gadis itu lagi. Beomgyu hanya bisa menggulirkan bola matanya dengan malas. Kenapa Ryujin ada disini, sih?

Gadis itu kemudian berjalan mendekat ke arah tempat duduk disamping Beomgyu. Tujuannya kesana tak lain dan tak bukan untuk membicarakan persoalan beberapa hari yang lalu. Ia datang bersama ayahnya yang kebetulan sedang ada urusan bisnis dengan ayah Beomgyu.

Beomgyu bergeming. Ia memilih untuk tetap pada posisinya dan bertindak seolah tidak ada orang yang mengganggunya. Tapi, hal itu ternyata tak menghalangi Ryujin untuk melanjutkan niat hatinya untuk bicara.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Ryujin.

Beomgyu berpikir sejenak. Ini adalah hal yang ia pikirkan berhari-hari namun tak juga ditemukan titik terangnya. "Tidak tahu," Beomgyu menjeda sejenak ucapannya untuk menyuruput teh dicangkirnya. "Kenapa ini terkesan seperti kau bergantung padaku, sih?"

"Bodoh," ucap Ryujin sambil menyilangkan tangan didepan dada.

Cemoohannya membuat Beomgyu tak kuasa menahan kekesalan. Beomgyu meletakkan cangkirnya dengan kasar kemudian menoleh ke arah Ryujin dan menatapnya galak.

"Apa kau bilang? Aku bodoh?" tanya Beomgyu.

Ryujin menoleh menatap Beomgyu. "Aku tidak menyebut namamu. Kau sendiri yang mengata-ngatai dirimu bodoh."

Beomgyu menghela napas berat. Ia harus banyak-banyak bersabar jika berbicara dengan Ryujin. "Cih, alasan."

"Kau yang membuatku ikut campur dalam masalah ini," Beomgyu sudah bersiap untuk menginterupsi, namun Ryujin buru-buru melanjutkan. "Ayolah, akui saja. Kalau kau tidak menelponku untuk datang kesana, aku tidak akan tahu masalah ini sampai kapanpun."

"Bahkan jika kejadian itu tidak terjadi, masalah itu memang tadinya akan aku beritahu padamu," ujar Beomgyu.

"Apa?" tanya Ryujin. Dia terkejut sekali.

Beomgyu menyunggingkan senyum licik. "Kenapa, eh? Terkejut, ya? Aku memang sudah merencanakan ini."

Ryujin kini menatap Beomgyu kesal. Bisa-bisanya dia dipermainkan seperti ini. "Cih, kau masih saja takut terperosok sendirian. Sengaja sekali mengajakku jatuh bersama. Pengecut."

"Wow, kau mengataiku pengecut sedangkan kau juga berulang kali meminta tolong padaku agar mau membantumu mencuri kunci studio. Hei, kau juga pengecut kalau begitu," balas Beomgyu tak terima.

Mereka berdua kemudian saling membuang muka. Hal seperti ini bukan sesuatu yang langka. Beomgyu dan Ryujin memang seperti itu setiap harinya. Mungkin sehari saja tidak saling mengejek, mulut mereka rasanya hambar.

Suasana mendadak menjadi hening. Mereka belum ada yang angkat bicara dan larut dalam pikiran masing-masing. Kalau dipikir sekali lagi, sebenarnya mereka ini memang tak hanya sekali dua kali bekerja sama untuk melakukan sesuatu.

Dulu, ketika mereka masih sekolah dasar, mereka pernah mengumpulkan uang bersama untuk menyewa komputer agar bisa bermain game. Mereka berbohong pada orang tua mereka dengan mengatakan kalau uang mereka habis untuk beli makanan. Padahal itu hanya siasat agar mereka berdua diberi uang lagi.

Jadi, kenapa juga Ryujin terkejut? Ah, dia harusnya sudah terbiasa dengan perilaku Beomgyu yang seperti itu. Dia kerap kali memberi komando untuk melakukan kejahatan bersama-sama. Itu harusnya tidak mengherankan, bukan?

"Kalau begitu, apa yang akan kau lakukan setelah ini?" tanya Ryujin memecah keheningan.

"Berhenti bertanya dan coba kau ikut pikirkan apa yang akan kita lakukan setelah ini," jawab Beomgyu galak.

Ryujin tak habis pikir. Dia malah harus ikut pusing karena Beomgyu. "Kau pada awalnya saja sudah gegabah. Harusnya ini tidak akan begitu memusingkan kalau hanya kita yang tahu."

"Tidak ada gunanya kau bicara seperti itu," ujar Beomgyu. "Apa kau ingat siapa saja yang ada disana? Orang yang aku ingat hanya Kak Soobin, Kak Yeonjun, Kak Jisu dan Huening Kai. Ya, itu saja. Sisanya aku tidak ingat."

Ryujin tampak mengingat-ingat siapa saja yang ada disana. "Ada Kak Yeji, Yuna Chaeryoung dan," ucapannya terhenti.

"Dan siapa?" tanya Beomgyu.

"Oh, sial. Aku tidak mengenalinya," jawab Ryujin.

Beomgyu tampak panik. Bagaimana kalau satu orang sisanya adalah orang yang justru akan membongkarnya lebih cepat dari yang Beomgyu rencanakan?

"Kau sungguh tidak tahu dia siapa?" tanya Beomgyu dengan harapan Ryujin bisa memberikan jawaban yang lain.

Ryujin berusaha mengingat-ingat wajahnya. Orangnya tinggi, hidung mancung, mata besar dan, oh kenapa dia memikirkan hal itu? Ah, otaknya buntu sekali. "Aku...tidak tahu."

Beomgyu menghela napas berat. "Ah, bagaimana ini? Aku juga tidak begitu memperhatikan dia."

Keduanya berusaha memutar otak. Ryujin tidak terlihat sepanik Beomgyu. Gadis itu mencoba mencari cara dengan tenang. Apa dia harus bertanya?

"Apa aku harus bertanya pada Chaeryoung?" tanya Ryujin.

Beomgyu berpikir sejenak. Kemudian ia menganggukkan kepalanya setuju. Tidak ada cara lain. Mereka juga tak punya banyak waktu untuk mencari tahu sendiri.

Ryujin merogoh kantung celananya untuk meraih ponselnya. Dia memilih mengirimkan pesan dibandingkan melakukan panggilan suara. Ibu Chaeryoung itu galak. Kalau ia menelpon disaat yang tidak tepat, ia takut Chaeryoung akan dimarahi.

"Sudah?" tanya Beomgyu.

Ryujin menganggukkan kepalanya sebagai jawaban kemudian ia meletakkan ponselnya di atas meja yang ada diantara kursinya dan kursi Beomgyu. "Tinggal tunggu dia balas."

Suasana kembali hening. Jujur, pikiran Beomgyu sekarang sedang kosong. Disatu sisi kadang dirinya ingin diam saja tapi disisi lain ia juga merasa muak. Ini hal yang memalukan. Jika dia diam saja, siapa yang akan menghentikannya?

Hal yang sama sepertinya ada dipikiran Ryujin. Baru kali ini ia merasa benar-benar sulit menemukan jalan keluar. Ia tahu ini kejahatan. Tak seperti Beomgyu, sedikitnya ia masih memikirkan reputasi dan masa depannya.

Denting ponsel Ryujin mengalihkan pandangan keduanya ke arah sumber suara. Gadis itu buru-buru membaca pesan yang masuk. Tak berapa lama, senyuman merekah dibibirnya.

"Namanya Kang Taehyun," ujar Ryujin. Tiba-tiba air mukanya berubah. "Dia ini adalah,"

"Apa?" tanya Beomgyu.

Ryujin menoleh menatap Beomgyu dengan tatapan yang sulit diartikan. "Dia salah satu peserta seleksi olimpiade."

Start Line | TXT & ITZY [COMPLETED]Where stories live. Discover now