4

1.5K 158 2
                                    

Hari nyaris berganti. Jam tangan yang terpasang dipergelangan tangan Yeonjun menunjukkan pukul sebelas malam. Namun, dia masih berkutat di meja belajar akibat hukuman dari orang tuanya karena mengetahui nilai tes terakhir yang ia dapatkan tidak memuaskan.

Tidak sekali dua kali ia dihukum orang tuanya seperti ini. Ia tahu orang tuanya sangat menyayanginya, terlebih dia adalah anak satu-satunya dikeluarga ini. Orang tuanya pasti menginginkan yang terbaik dan mau tidak mau Yeonjun hanya bisa menurut agar dia tidak menyakiti hati orang tuanya.

Dengan kondisi seperti ini, Yeonjun harus merelakan mimpi besarnya. Ia pikir, tak apa harus berhenti mengejar semua itu asalkan ia tak kehilangan orang-orang berharga disekitarnya.

Beberapa saat kemudian, suara ketukan pintu merasuki gendang telinganya diikuti suara sang ibu yang memanggilnya pelan. Ini hampir tengah malam, jadi ibunya pasti keluar diam-diam dari kamarnya untuk menemui Yeonjun.

"Yeonjun? Kau masih terjaga?" tanya sang ibu.

Yeonjun segera membuka pintu dan menemukan paras khawatir sang ibu kini tengah menatapnya. Ia melangkah masuk dan diikuti oleh ibunya.

"Ada apa, Bu?" tanya Yeonjun sambil mendudukkan diri di kursi diikuti oleh ibunya yang memilih duduk di ranjangnya yang penuh buku.

"Ibu mengkhawatirkanmu," ujarnya. Ia meraih tangan Yeonjun kemudian menatap wajahnya. "Istirahatlah. Lanjutkan ini besok, ya? Tolong maafkan ayahmu. Dia memang keras kepala."

Yeonjun tersenyum. Ibunya adalah malaikat tak bersayap dalam hidupnya, "Tak apa, Ibu. Sebentar lagi aku selesai. Ibu jangan khawatir."

"Aku akan temani hingga kau selesai. Tidak ada bantahan," ucap sang ibu tegas.

Yeonjun menghela napas pelan. Ia harus menyelesaikan ini atau nanti ia membiarkan ibunya begadang semalaman karena menemaninya. Ayahnya bisa memotong uang jajannya seminggu kalau ia ketahuan ditemani sang ibu semalam suntuk menyelesaikan hukumannya.

                                     ***

Pagi harinya, cuaca tak begitu cerah. Hawa yang terasapun masih sangat dingin. Namun, Yeonjun sudah datang ke sekolah lebih awal dari biasanya. Suasananya masih begitu sepi. Hanya ada beberapa siswa yang tampak baru datang bersamaan dengan dirinya.

Selama perjalanan menuju ke kelasnya, tak ada suara sama sekali. Benar-benar sunyi. Langkah kakinya bahkan terdengar begitu keras karena ia berjalan sendirian di koridor lantai dua. Ah, menyebalkan sekali. Kenapa kelasnya harus di lantai tiga?.

Samar-samar ia mendengar suara bising dari suatu ruangan. Terdengar seperti orang yang sedang bertengkar hebat. Karena rasa penasaran yang begitu meluap-luap, ia mencari sumber suara itu.

Tak lama kemudian, Yeonjun menemukan dua orang yang sedang berselisih paham. Ia tidak tahu mereka siapa tapi yang pasti topik yang sedang mereka perdebatkan sepertinya sangat serius.

"Harusnya kau tahu jika ini berisiko. Masih mau melaporkannya?" teriak si perempuan. Ia tampak frustasi menghadapi lawan bicaranya.

"Mau sampai kapan kau bertahan dengan segala manipulasi ini? Kita tahu ini salah tapi kenapa kau menyuruhku tetap diam?" timpal si laki-laki tak mau kalah.

"Ini demi kebaikan kita, bodoh. Apa yang ada dipikiranmu?"

"Justru aku yang harusnya bertanya seperti itu. APA YANG ADA DIPIKIRANMU? HAH?!" suara si anak laki-laki itu meninggi.

"Pikirkan dirimu sendiri. Kalau sampai semua ini terungkap, kau adalah orang pertama yang akan kubunuh," ancam si perempuan.

Si murid laki-laki itu tersenyum meremehkan. Apa tadi yang dia dengar? Dibunuh? Bahkan ia sudah mati sejak menginjakkan kakinya di sekolah ini.

"Kau hanya takut masa depanmu terancam, bukankah begitu? Kalian egois sekali."

Si murid perempuan menatap tajam lawan bicaranya. Ia tak mengatakan apapun hingga ia meraih ranselnya di atas meja dan mulai berjalan keluar.

Yeonjun yang melihat gadis itu hendak keluar buru-buru berjalan menjauhi ruangan itu menuju tangga. Beruntung sekali ia memiliki kaki yang panjang sehingga ia bisa menjauhi mereka tepat waktu. Jika ia terlambat selangkah saja, mungkin si siswa perempuan tadi bisa menangkap basah dirinya.

Sesampainya di koridor lantai tiga, ia melihat Soobin sedang membersihkan jendela kelas. Bukan hal mengejutkan juga. Koridor lantai tigapun tak sesenyap koridor lain. Terlihat lebih banyak siswa berlalu lalang disini.

"Hai, selamat pagi," sapa Soobin ramah sambil menghentikan aktivitas bersih-bersihnya.

"Ya, selamat pagi," sapa Yeonjun balik. Ia memilih duduk di kursi di depan kelas Soobin untuk beberapa waktu. Mungkin Soobin bisa ia ajak mengobrol banyak hal termasuk kejadian yang barusan ia saksikan.

"Tumben kau berangkat lebih pagi " ujar Soobin. Ia bergabung dengan Yeonjun, ikut serta mendudukkan diri di kursi yang sama.

"Sok tahu. Ah, jangan-jangan kau selama ini selalu memperhatikanku, ya?" tanya Yeonjun penuh selidik.

"Apa? Tidak. Aku tidak pernah melihatmu berangkat sepagi ini. Itulah mengapa aku berkata seperti itu," jawab Soobin.

Sebelum Yeonjun menimpalinya, seorang gadis datang dan berdiri di depan mereka. Ia tampak baru saja tiba di sekolah. Dilihat dari raut wajahnya, ia tampaknya sangat kesal.

"Kenapa kau pergi lebih dulu?" protesnya.

"Ah, maafkan aku. Tadi kukira kau akan berangkat bersama ayahmu," kata Soobin.

"Harusnya kan tanya. Aku berangkat sendirian menggunakan bus, tahu," omel si gadis. "Ini. Bekalmu tertinggal," katanya sambil memberikan kotak makanan pada Soobin.

"Oh, terima kasih. Aku tidak sadar tadi meninggalkannya. Ibuku pasti mengomel, iya kan?" gadis itu menganggukkan kepala. "Sebagai permintaan maaf, akan ku traktir es krim nanti. Bagaimana?" tawarnya.

"Baiklah. Kalau begitu aku masuk dulu. Sampai jumpa," ucap gadis itu sambil melambaikan tangannya.

Yeonjun merasa dirinya seperti orang ketiga diantara mereka. Ia jadi terlihat bodoh karena menyaksikan sepasang manusia itu bersikap manis satu sama lain. Ah, kasihan sekali dia.

"Dia pacarmu?" tanya Yeonjun.

"Pacar? Bukan. Dia tetanggaku," jawab Soobin seadanya. Ya, mau bagaimana lagi? Kan memang begitu kenyataannya.

Yeonjun tak menanggapi itu. Sejujurnya ia ingin menceritakan tentang pertengkaran yang ia lihat di ruangan tadi. Tapi, tampaknya ia meragu. Ia memilih diam dan akan menceritakan hal ini lain waktu. Mungkin saja ia bisa mencari tahu lebih banyak, bukan? Jadi, diam bukan pilihan yang buruk.

Start Line | TXT & ITZY [COMPLETED]Where stories live. Discover now