twenty five🥟 ㅡrumah nindy

944 75 29
                                    

Cklek.

Refa membuka pintu utama, kemudian berhenti sejenak untuk menghirup udara pagi yang segar. Ia melangkahkan kaki keluar dari vila, menuju ke halaman depan.

Waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Teman-temannya masih tertidur sehabis sholat subuh tadi. Dirinya entah mengapa tidak bisa tidur, dan memutuskan untuk keluar sejenak.

Refa berjongkok, ia menyentuh rumput-rumput membuat tangannya basah karena embun. Ia menepuk-nepuk tangannya, kemudian kembali melihat sekitar. Suasana benar-benar masih sepi, ia bahkan bisa dengan jelas mendengar cicit burung.

Refa terlonjak. Sesuatu itu menarik perhatiannya. Ia berjalan pelan, menghampiri benda itu. Refa tersenyum. Ternyata memang bukan benda, tetapi seekor kucing, baru saja melompati pagar itu.

Ia mendekat pelan, kucing itu menatapnya intens. Setelah sadar bahwa kucing itu tidak takut dengan dirinya, ia kembali berjongkok, dan mengelus punggungnya. Kucing berbulu warna abu-abu itu mengeong pelan, kemudian mendekatkan dirinya pada Refa.

Kucing itu tampaknya punya tuan, dilihat dari kalung merah yang dipakainya, dan sikapnya yang mudah akrab dengan Refa. Mungkin dia sedang jalan-jalan, nanti juga balik ke rumahnya, sama seperti kucingnya di rumah Jakarta. Menghilang saat sedang bosan dengan suasana rumah, tapi sore-sore sudah muncul di kasurnya, tertidur pulas.

Refa mendecak beberapa kali, dan kucing itu kembali mengeong. Refa tertawa kecil.

"Assalamu'alaikum,"

Refa kembali terlonjak. Ia berbalik ke arah asal suara yang menyapanya tadi. Sesuai dugaannya, itu Reva.

Reva ikut jongkok, dan berpegangan pada jeruji pagar yang membatasi vila Chandra satu dengan yang satunya.

"Wa'alaikumussalam," balas Refa, "Ada apa nih, tumben pagi-pagi udah bangun."

"Aku selalu bangun jam segini," ujar Reva, "Kamu kali, yang tumben."

Refa terkekeh, "Bener, sih."

"Dia siapa?" tanya Reva, menunjuk kucing abu-abu tersebut. Ia asyik menjilati bulunya.

Refa menatap kucing di dekat kakinya itu, "Grau."

Reva menaikkan sebelah alisnya bingung, "Do you mean grey?"

"Enggak. Grau, artinya abu-abu, dalam Bahasa Jerman."

Reva mengangguk paham, "Aku lupa kamu pernah belajar Bahasa Jerman."

Refa membetulkan posisi jongkoknya, ia mengetuk-ngetuk punggung kucing itu gemas.

"Eh, namanya bukan itu, kan?" tanya Reva lagi.

Refa tertawa kecil, "Bukan, lah. Aku ngasal aja. Dia tiba-tiba lompat dari luar, enggak tahu punya siapa."

Reva menjulurkan tangannya melewati jeruji pagar, berusaha untuk menggapai Grau, namun tidak mampu karena posisi mereka terlalu jauh.

"Ref, sinian dong."

"Wani piro? (Mau bayar berapa?)"

Reva mendecak kesal.

Refa tersenyum menahan tawanya, kemudian menggendong Grau, membawanya mendekati Reva.

"Nih," ujarnya, sembari meletakkan Grau di dekat jeruji pagar.

Reva tersenyum senang, tangannya kembali menyusup melewati jeruji, ia mengelus kepala Grau pelan. Grau mendekat ke Reva, namun tidak bisa melewati jeruji itu karena terlalu kecil dibandingkan ukuran badannya.

Reva & Refa [COMPLETED]Where stories live. Discover now