ENAM BELAS

1.7K 173 2
                                    

Pram, melirik Rinai dari ekor matanya, tajam. Gerakan bibirnya yang sedang mengunyah makanan terhenti demi mendengar sebuah nama yang bukan hanya hampir menorehkan malu di wajahnya, namun juga menyisakan kecewa dan sedikit luka di hatinya. Laras, memangnya siapa dia  hingga berani meminta pertolongan kepadanya dan juga Rinai, istrinya. Setelah pergi begitu saja kini wanita itu tanpa pikir panjang dan rasa malu berharap dapat tinggal bersama mereka disini, walaupun hanya sementara Pram, merasa keberatan.

"Kukira gadis angkuh itu sudah meraih impiannya hingga tanpa pikir panjang lari dari pernikahannya waktu itu, lalu apa yang membuatnya tanpa malu berpikir tinggal bersama kita disini?" 

Kedua jari jemari Rinai, saling bertaut. Ia sudah mulai paham kapan ekspresi wajah Pram yang mengandung kekesalan, dengan kapan wajah Pram, yang dingin namun tanpa emosi. "Sepertinya ia dalam masalah, aku tidak tahu dengan pasti tapi kita akan segera tahu setelah bertemu dengannya." Jawab, Rinai. 

Pram, mengangguk acuh dan kembali melanjutkan makannya. "Aku menolak permintaanmu." gumamnya, di sela-sela makan. 

Rinai, menghembuskan nafas panjang seraya menunduk. Sudah ia duga reaksi Pram akan seperti ini. "Mas,-" dan jika ia sudah memanggilnya dengan begitu halus dan santun berarti Rinai sedang melakukan negosiasi.

"Dan jangan merayuku," Pram, memotong perkataan Rinai dengan mengangkat sebelah tangannya. "Tidak untuk kali ini." ujarnya tegas. 

"Belakangan ini kamu selalu pulang larut malam, Mas. Jujur saja sebenarnya seorang diri di dalam rumah sebesar ini membuatku sedikit takut dan tidak nyaman, kupikir jika ada Laras mungkin sedikit mengurangi kesepian yang kurasakan." benar saja tebakan Pram, kalau Rinai itu hanya manis dan lugu pada tampilannya saja, pada kenyataannya ia itu wanita keras kepala. 

"Dia adalah wanita yang seharusnya menikah denganku, Rin. Apa kamu tidak berpikir panjang kearah sana? Kamu baik-baik saja melihat dia kembali bertemu dengan diriku?" 

"Mas, bilang waktu itu tidak mencintainya bukan?" 

Mereka bersitatap dalam beberapa detik, sebelum Pram memutuskan mengalihkan pandangannya dan mengakhiri makan paginya. 

"Hanya sampai saat ia berhasil kembali mendapatkan pekerjaan, ia berjanji akan segera mencari tempat sewa." lanjut Rinai,

Pram, mengambil tas kerjanya dan bangkit dari kursi berjalan menuju teras rumah. 

"Pram,....." Rinai memanggilnya dengan nada memohon, membuat langkah pria itu terhenti sejenak, berbalik dan menatapnya. 

"Baiklah, jika hal itu tidak masalah buatmu." ia mengalah 

Rinai tertawa lebar, jujur ia memang merasa kesepian sekali.

"Oh ya dan satu hal lagi," 

"Ya Tuhan, ada apa lagi Rin?"

"Bagas mengenalkanku kepada kenalannya, dan mereka menawariku bekerja sebagai perancang buket bunga pernikahan. Jika kamu tidak keberatan aku bisa mulai bekerja minggu depan."

Pram, menatapnya datar kali ini. "Sejak kapan kamu bisa berinteraksi dengan orang lain selain keluargamu, Rin?" 

Rinai, tercengang dengan pertanyaan Pram barusan. Pria itu menatapnya seolah ingin menyantapnya, tanpa berkedip, tanpa kehangatan. Tiba-tiba Pram tertawa sinis, "Kamu membuatku terlalu lama menunggu!" dan pria itu menutup pintu rumah dengan keras, meninggalkan suara debuman yang membuat jantung Rinai berpacu kencang. 

***

Pram, mendiamkannya sejak saat itu, ia merasa bahwa Rinai, hanya sedang mengulur-ulur waktu dengannya. Jika ia berani berinteraksi dengan orang lain selain keluarganya berarti wanita itu sudah mengalami kemajuan yang pesat. Hingga saat pesta perayaan peresmian proyek baru Pram hari ini, pria itu bahkan meminta Bagas yang menjemput istrinya dirumah. 

Bagas, tidak mungkin membawa Rinai ke acara sebesar itu dengan penampilannya yang biasa. Wanita itu sudah cantik pada dasarnya, ia hanya memerlukan sedikit saja polesan untuk membuatnya tampil menjadi luar biasa. 

Rinai, berjalan dengan canggung diiringi oleh Bagas. Gaun kaftan berlapis brukat berwarna peach terlihat serasi dengan kuningnya yang putih halus. Rambutnya di sanggul ke atas  agar terlihat jenjang lehernya yang menawan. Tidak lupa Bagas menambahkan kalung berlian yang melingkar indah di leher Rinai, meski awalnya wanita itu menolak keras namun pada akhirnya ia menurut dengan syarat selepas acara ia akan mengembalikan semua barang pemberian Bagas malam ini. 

Mereka berjalan masuk ke dalam, Bagas melingkarkan tangan Rinai di lengannya berupaya sebaik mungkin agar wanita itu tidak canggung atau bahkan terkena serangan panik. Di tengah-tengah ruangan Pram, menatapnya lurus, tidak percaya bahwa wanita di samping Bagas adalah Rinai, istrinya. Meski ia mengakui kecantikan alami Rinai, ia tetap saja dibuat terpana olehnya. 

"Maaf kami terlambat," ucap Bagas, 

"Aku mengerti, dengan segala yang terlihat pada wanita ini aku mengerti mengapa kalian terlambat datang," ujar Pram, masih tetap menatap Rinai yang terlihat mulai canggung dan tidak percaya diri. "Bisa kembalikan istriku?" Pram, mengulurkan tangannya ke arah Rinai tanpa menatap Bagas. 

"Oh ya, tentu saja." 

Pram, mengambil alih Rinai ke dalam pelukannya. "Kamu baik-baik saja?" bisik Pram di telinganya.

Rinai, menatap Pram dengan ekspresi yang sulit digambarkan. Takut, canggung, malu, dan idak percaya diri menjadi satu. "Aku hanya," ia menggigit bibirnya dan menunduk,

"Selamat malam,-" seseorang datang dan mengampiri mereka, dengan gaunnya yang berwarna merah panjang dengan belahan yang juga begitu panjang hingga diatas lutut. Cantik dan menawan, itulah gambaran wanita itu dalam pandangan Rinai,

dan satu lagi, ia penuh percaya diri. 

Wanita itu mengulurkan tangannya ke arah Rinai, tersenyum ramah "Hai, kamu pasti Rinai kan? Kenalkan, saya Fiona, sahabat dekat sekaligus rekan bisnisnya Pram." 


------------Bersambung--------------

"

SEKEPING HATI UNTUK, RINAI. -- Sudah Terbit versi ebook Playstore. Link Di BioWhere stories live. Discover now