Kelas ramai oleh tawa ketika Pak Herdin mencoba bercanda. Sangat berkebalikan dengan Pak Royan yang selalu melecut mereka untuk belajar, Pak Herdin menurunkan level ketegangan begitu drastis. Wening sampai khawatir, ia dan teman-temannya akan kembali bersantai-santai.

"Kelas 12 bukan ujung tanduk, dan kalian bukan telur yang ditaruh di atasnya. Pasif, tanpa daya, terancam jatuh dan pecah. Pola pikir itu harus diubah. Kalian—"

"Bagai air di daun talas!" celetuk Arvind tepat sasaran, disambut tepuk tangan sekelas. Seolah komando bagi yang lain untuk menyebutkan peribahasa dan perumpamaan juga.

"Kalian adalah pelari halang rintang." Pak Herdin melanjutkan setelah keramaian mereda. "Itu istilah yang bagus dari esai Ulvi Wulansari. Mana Ulvi?"

Nilai Kimia Ulvi 95. Wening mengomeli diri sendiri. Dilihatnya Ulvi berdiri malu-malu saat diminta Pak Herdin menjelaskan pendapatnya.

"Ujian-ujian itu adalah halang rintang seperti gawang dan genangan air. Kita berlari dan melompatinya dengan teknik yang sudah kita kuasai. Kita tahu jarak tempuh yang harus kita lalui. Andai satu gawang roboh oleh kaki, atau kita terpeleset jatuh, bangun dan lari lagi sampai mencapai garis finish. Kita bisa saja menjadi nomor satu atau paling belakang, enggak masalah. Yang penting, jangan berhenti di tengah jalan." Ulvi mengangguk dan duduk kembali, diiringi tepuk tangan dan suitan.

"Jangan berhenti di tengah jalan." Ren bergumam, tampak terinspirasi.

Wening menyikut teman sebangkunya. "Kacamatamu sampai melorot begitu!" Detik itu juga, ia mendapatkan ide cemerlang. Begitu Pak Herdin keluar dari kelas, ia menggamit Ren. "Kamu ikut aku ke rumah sakit sekarang, periksa matamu. Dokter Hilda kenalan Ibu, baik banget. Katanya, kalau aku perlu periksa mata, langsung saja datang ke klinik, gratis. Aku antar kamu ke sana. Habis istirahat, kan cuma pembahasan Kimia, izin saja. Kita bisa balik lagi untuk ikut pelajaran terakhir. Hayu!"

Ren memandanginya seakan ia berbicara dengan bahasa alien.

"Ayo!" Wening menarik tangan Ren. "Periksa mata harusnya enam bulan sekali. Kacamatamu itu belum ganti sejak kapan ... setahun lalu? Aku enggak tahan lihat kamu kesulitan baca tulisan di papan, segitu dekatnya."

"Itu karena tulisan Pak Herdin kayak tulisan dokter. Rasanya, kacamataku baik-baik saja."

"Sudah, jangan membantah. Mumpung masih ada waktu untuk ganti lensa sebelum PTS." Wening menyandang ransel.

Ren pun menurut. Mereka mendapatkan izin keluar sekolah dengan mudah. Ada gunanya juga jadi siswa baik-baik dengan nilai bagus selama ini. Lagipula mereka tidak berbohong. Di angkot, Ren mulai curiga karena Wening terlalu gelisah. "Kamu enggak berniat merampok persediaan darah mereka, kan?"

"Memangnya vampir anemia? Aku cuma mau ketemu teman Ibu secara enggak sengaja." Wening memberi tekanan pada kata-kata terakhir. "Jangan tanya alasanku. Ikhlas saja aku manfaatkan kamu sebentar."

"Oke," Ren meringis. "Sudah lama aku enggak kamu manfaatkan."

Wening tertawa, dalam hati membenarkan kata-kata Ren. Jangankan saling memanfaatkan, bertegur sapa saja sudah ala kadarnya. Kapan terakhir mereka bertiga mengobrol lama tanpa membicarakan pelajaran? Wening bahkan tidak tahu, kapan Arvind berhasil mengatasi rasa takutnya ditinggal sendirian di rumah. Dan Ren, sepertinya mulai tertarik pada seseorang. Dari caranya menggoda Ren, Arvind jelas tahu siapa gadis itu. Wening tidak dilibatkan dan anehnya tidak berkeberatan. Benar-benar tidak ada waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu. Kelas 12 membuat mereka berfokus pada titik di depan, dan melewatkan sampingan-sampingan yang menjadikan mereka remaja.

Di klinik mata, Wening mendapatkan alibinya. Dokter Hilda mengira mereka pacaran, yang tidak mereka bantah.

"Ren, aku tunggu di luar," kata Wening. "Dokter, terima kasih."

Take My Handحيث تعيش القصص. اكتشف الآن