'AOM; 21'

128K 11.9K 2.1K
                                    

"MAAF, saya gak mungkin maksain perasaan saya  ke kamu. Ayra orang yang hampir 3 tahun ini saya suka, bakal susah dilupainnya." Itu kalimat yang ia katakan ketika aku hendak turun dari mobilnya waktu itu.

Alastair, dia tidak sejahat yang kalian pikirkan.

Walaupun aku sakit hati, namun kalau memposisikan diri dengan keadaannya. Aku juga pasti akan susah menerima orang baru saat sudah nyaman dengan orang yang sedari dulu kutaksir mati-matian.

Libur semester awal hampir berakhir. Itu artinya tidak lama lagi aku akan disibukkan dengan segala macam ujian.

Besok aku sudah kembali bersekolah namun bukannya memanfaatkan waktu merasakan detik-detik nyamannya tidur tanpa tugas aku malah harus mengurus Cani yang mabuk. Tanpa Ghea dan Jessica yang bisa membantuku. Kedua gadis itu baru saja sampai dari liburan mereka. Jadi, aku lah yang dimintai menemani gadis ini.

Pukul setengah dua belas malam dan Cani masih menggerutu di meja bar. Cewek berjaket jeans itu sudah mengahabiskan tiga gelas minuman yang tidak kuketahui jenisnya. Aku tidak minum kali ini, berjaga, karena kalau aku ikutan bisa-bisa kami tidak ada yang pulang dengan selamat.

Cani sedang tidak ada masalah hanya karena mood ingin ke club. Katanya selama libur ia habiskan di rumah, jadilah karena terlalu bosan ia memilih ke sini. Percayalah aku sempat menolak ajakannya namun Cani mengatakan akan pergi sendiri kalau-kalau aku tidak mau ikut dengannya.

Ingar-bingar dalam ruangan ini benar-benar tak terkontrol. Di bagian tengah tempat orang-orang berjoget tak tentu arah, entah karena mereka mabuk atau karena musiknya juga yang tidak jelas---ah tidak, mungkin kupingku saja yang kurang srek dengan dentuman musik di tempat ini---satu orang cewek yang duduk di kursi bar sudah tepar sedangkan yang lain terlihat berbincang ria dengan lawan jenisnya. Kunaikkan tudung hoodie yang pernah Alastair berikan padaku. Tanpa kubuka di Internet aku yakin, hoodie hitam bertuliskan stussy ini pasti tidaklah murah.

Cani meracau yang membuatku menghela napas. Kutarik dia dari meja bar hendak membawanya ke parkiran. Jujur, aku tidak tahu bagaimana cara membawanya pulang. Saat kami kemari, Cani membawa mobil, aku bisa saja mengantarnya pulang menggunakan mobil namun kendalanya adalah, aku tidak pernah belajar membawa mobil dengan sungguh-sungguh. Jadi, aku masihlah ragu.

Dan lagi, kalau tidak salah, Billy pernah memperingatkan Cani agar tidak datang ke tempat ini lagi.

"Can, gue bingung nih. Ya Tuhan." Aku sedikit frustasi akan tetapi seseorang yang memanggil namaku di beberapa detik lalu membuat mataku membulat. Dan berterima kasih kepada tuhan.

"Bill-"

"Kenapa lo bawa dia ke sini sih, Than? Kalau lo peduli dan sayang sama sahabat lo, lo harusnya gak ke sini bareng dia! Lo tau sendiri tempat ini kayak gimana!" Billy menarik Cani dariku kemudian menggendongnya dengan cara bridal-style.

Oke, sepertinya Billy salah paham.

"Gue cuma mau bantuin dia Bill."

"Harusnya lo tolak! Gimana sih!" Billy terlihat kesal padaku.

Kulihat Alastair dan Reindra mendekat ke arah kami. "Kenapa, Bill?"

"Gak tau!" Billy berjalan hendak meninggalkanku dengan Cani digendongannya.

Aku menahan lengan cowok itu. "Bill, plis, gue udah nolak buat dateng ke sini tapi Cani keukeuh."

"Lo pinter, harusnya lo punya cara untuk itu."

"Tapi Bill." Entahlah, aku benar-benar merasa bersalah sekarang. "Bill."

Ia tak mendengarkanku dan lebih memilih untuk memasukan Cani ke mobil. "Bill, jangan narik kesimpulan sendiri dululah." ujar Reindra, namun Billy tetap tidak menghiraukannya.

Alastair Owns MeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang