1. Prolog

132 7 0
                                    

"Gue kesel, Ben. Setiap gue kerumah lo, burung lo itu selalu berisik!" kata Nalu kesal begitu Ben keluar dari bagasi dengan motornya.

Ya, pagi ini seperti biasa, Nalusa Anjani--si cewek judes, titisan Demon Hunter- menunggu Benata Rohman keluar dari rumahnya untuk pergi kesekolah bersama. Selama lima tahun terakhir memang selalu begitu.

Teman? Mungkin saja. Sudah lebih dari cukup mengenal satu sama lain sejak masih dalam berbentuk zigot. Keduanya sudah beradu mulut dengan batin didalam kandungan ibunya masing-masing. Kedua ibunya kebetulan kembar seiras. Tak dipungkiri jika banyak orang yang menyangka Ben dan Nalu saudara kandung.

Ben menundukan kepala, lebih tepatnya menatap kepunyaannya.

"Burung gue dari tadi nggak berisik kok, Nal. Malah dari tadi nggak gerak-gerak," kata Ben dengan wajah polos bin tak berdosanya. Netranya kini menyapu gadis dihadapannya dari atas sampai bawah.
"Lagian, gue nggak nafsu liat lo, badan lo bagai jalan tol, lurus, nggak ada lekuk-lakuknya."

Mendadak Nalu diam melongo dengan mulut setengah terbuka, ia tidak percaya Ben benar-benar mengatakannya. Tanpa sadar tangannya kini melayang dengan entengnya tepat dikepala Ben.

Plak!!

"Arggghh!!"

Nalu memukul kepala Ben tidak main-main. Berusaha untuk menyadarkan sekaligus membersihkan isi otak yang mungkin sudah dipenuhi video negatif.

Ben berdecak sedikit kesal. Meski sering kali ia beradu tinju dengan teman laki-lakinya dalam perkelahian. Tetap saja pukulan Nalu cukup menyakitkan untuknya.

"Dasar mesum!" umpat Nalu terang-terangan.

"Gue manusia, Nal. Wajar punya nafsu."

"Tap.. . " Nalu menggantungkan ucapannya. Berbicara dengan Ben tidak akan ada habisnya. Seperti sekarang, bisa-bisa ia telat pergi kesekolah. Mencoba berpikir jernih lantas, mengulurkan tangan seolah meminta sesuatu. "Helmnya?"

Ben tersenyum miring. Selain cerewet, gadis ini terlalu manja padahal helm yang selalu dipakainya berada tepat dihadapannya.  "Bisa gak lo ambil sendiri. Tangan lo masih berfungsi dengan baik'kan?"

"Gue jijik kalo deket-deket sama kepunyaan lo, Ben! " Kesal Nalu yang mulai naik pitam. "Stop debat! Dan cepetan!! Kita bakalan telat pergi sekolah. "

Mau tidak mau Ben menyerahkan helm itu. Merasa dirinya menang Nalu tersenyum puas sambil memakai helmnya.
"Burung yang gue maksud itu, burung bapak lo yang ada disana." Nalu menunjuk sangkar yang didalamnya terdapat sepasang burung berwarna hijau. "Lo tau kenapa setiap gue kerumah lo selalu berisik? Tapi gue liat-liat kalo Mang Umar tukang sayur yang lewat nggak gitu kok."

Ben membelokan kaca spionnya jadi menghadap Nalu. "Artinya burung itu benci sama lo! Dia tau lo ngeselin gue terus. " jawab Ben. "Burung aja gak suka sama lo apalagi yang punya burungnya."

Nalu mengernyitkan kening. "Bapak lo gak suka sama gue?" Semburnya dengan tidak santai. "Gak! Gak ada kayak gitu! Bapak lo lebih suka gue dari pada lo, anaknya sendiri. "

Ben mencebikkan bibirnya kasar. "Selain kepala lo batu. Otaknya lo ternyata lemot. " Kali ini Ben yang terlihat julit. "Kalo bapak tau kelakuan asli lo. Gue seribu kali lipet yakin lo bakalan narik lagi ucapan yang tadi."

Nalu menatap lekat wajah Ben lantas melipat tangan didada dengan dagu diangkat. "I always win, Ben. Dalam hal apapun! Lo udah tau kondisi lo ada dibawah kaki gue. Seharusnya lo usaha. Minimal pinter dikelas."

"Lo ngerendahin gue?" wajah Ben berubah datar.

"Lo ngerasa?"

Nalu membuat Ben mendadak diam, wajah Ben juga terlihat menahan kesal. Mentang-mentang dirinya punya otak, pencapaian dan kepercayaan. Ia berbicara dan bertindak semena-mena.

BeNaluWhere stories live. Discover now