Kepingan 1

138 13 0
                                    

Aiza berlari semakin cepat saat mendekati gerbang sekolah. Sesekali dia melirik jam tangan kecil berwarna hitam yang melingkar pada pergelangan tangannya. Waktu sudah menunjukkan bahwa dirinya terlambat. Jantungnya berdetak cepat saat dia melihat gerbang sekolahnya benar-benar di tutup. Dia memelankan langkah kakinya dan menghembuskan napas panjang tepat di depan gerbang. Gerbang berwarna coklat setinggi 2 meter lebih telah tertutup rapat. Dengan penjagaan dari kakak-kakak senior dan satpam yang ada di sana.

"Oh ayolah. Aku hanya terlambat dua menit," gerutu Aiza. Dia menunggu satpam yang tengah berbincang dengan kakak senior mendekati gerbang dan membukakan untuknya.

"Yang terlambat cepat berbaris!" perintah seorang perempuan berambut sebahu. Dia sempatkan berbisik-bisik dahulu dengan teman-teman di sekitarnya.

"Ketik nama dan kelas kalian di sini. Nggak usah lama ngetiknya," ujar lelaki berkulit kuning langsat sambil menyerahkan ponselnya pada siswa di barisan paling depan. Dengan cepat ponsel itu bergilir ke siswa lainnya.

Aiza yang berada di barisan tengah hanya bisa menggigit bibir dan menggerakkan kakinya. Dia tak tahu harus berbuat apa di sini, toh itu memang kesalahannya sendiri.

Tiba-tiba salah satu guru perempuan datang dari ruang guru. Dia mengecek siapa saja anak-anak yang terlambat. Dia terus berjalan hingga berhenti tepat di hadapan Aiza.

"Bukankah kamu siswa yang baru saja pindah dari SMA Anala?" tanya guru tersebut. Aiza hanya mengangguk pasrah. Hari ini benar-benar menyebalkan. Dia harus terlambat untuk masuk ke sekolah barunya.

"Baiklah. Kamu tetap ikuti perintah yang diberikan kakak-kakak seniormu. Setelah selesai, nanti temui saya di ruang guru untuk menemui wali kelas kamu." Aiza kembali mengangguk. Dia sempatkan membaca tagname guru tersebut agar dia tidak kebingungan saat mencarinya nanti. Bu Hafia, adalah guru pertama yang dia jumpai hari ini. Semoga dia tidak menemui guru-guru lainnya saat dia melakukan kesalahan.

"Sebagai hukumannya, seperti biasa kalian bersihkan mushola tanpa ada kotoran yang terlewat. Kalian mengerti?" ini mirip perintah daripada pertanyaan. Kakak-kakak senior menghukum anak-anak yang terlambat untuk membersihkan mushola. Sudah menjadi kebiasaan setiap hari bagi mereka yang suka mengulur waktu.

Aiza mengikuti siswa lainnya. Melewati lobi dan sempat melihat siswa lainnya sedang mengikuti upacara bendera lewat jalan setapak kecil. Lagi-lagi dia menghela napas panjang. Seharusnya dia bisa berkumpul di sana sekarang. Sayangnya saat ini dia harus bermesraan dengan sapu dan pel lantai.

Semua anak sibuk membereskan mushola. Siswa laki-laki membersihkan toilet dan tempat wudhu, sedangkan siswa perempuan mengepel dan menyapu lantai.

Aiza belum berkomunikasi dengan siapa pun. Dia masih menyendiri dengan sapu di tangannya. Tanpa bicara dia membersihkan apa pun yang ada di hadapannya. Dia terlalu kesal hingga akhirnya masih tak ingin berkenalan. Kalau saja dia tahu begini, dia tak akan pindah sekolah hanya karena jaraknya yang lebih dekat.

Dua puluh menit berlalu, menyisakan anak-anak yang kelelahan dan bersandar di dinding mushola. Aiza juga melakukan hal yang sama, dia mengibas-ngibaskan tangannya demi mendapatkan udara yang lebih segar. Sebelum sesaat dia sadar bahwa siswa yang sempat upacara sudah masuk ke kelas masing-masing.

Dia bergegas membawa tasnya dan mencari ruang guru. Ternyata ruang guru berada di samping lobi. Untunglah, dia tak perlu susah payah mencarinya sampai lelah.

"Assalamualaikum," ucap Aiza memberikan salam sambil mengetuk pintu. Sontak, semua guru yang ada di sana memandangnya. Mungkin Aiza masih terlalu asing bagi mereka.

"Waalaikumsalam. Mari masuk Nak," jawab Bu Hafia yang bangkunya berada di deretan paling depan. Aiza mengembangkan senyumnya dan menghampiri Bu Hafia.

"Nama kamu Aiza Alishba kan?" tanya Bu Hafia dan dijawab anggukan oleh Aiza.

"Waktu pendaftaran kemarin pastinya sudah tahu masuk ke kelas mana kan?" tanya Bu Hafia lagi

"Sudah Bu, kelas sebelas bahasa satu," jawab Aiza dengan gugup. Ini dia adegan yang paling dia benci. Menjawab semua pertanyaan dari orang baru di sekitarnya.

"Baiklah. Wali kelas kamu adalah Bu Maria dan dia akan mengantar kamu ke kelas beliau," seorang guru muda mendekati meja Bu Hafia. Dia tersenyum manis pada Aiza dan mengiringnya keluar ruang guru.

Dalam perjalanan menuju kelasnya yang baru Aiza dan Bu Maria berbincang mengenai sekolah. Bu Maria mengenalkan Aiza pada sekolah ini. Jalan menuju kelas XI Bahasa 1 ternyata cukup jauh. Setelah melewati lapangan mereka harus berbelok ke arah kiri dan mendapati kantin-kantin kecil di sana. Aiza melihat tanah lapang yang kecil dengan beberapa pohon jambu di tanam di tengah-tengahnya setelah berbelok ke arah kanan. Barulah dia bisa melihat deretan kelas bahasa berjumlah enam kelas di belakang tanah lapang tersebut--sepertinya sekolah ini sengaja menaruh kelas bahasa di bagian belakang sekolah.

Pintu kelas XI Bahasa 1 sedikit terbuka. Dari luar terdengar suara siswa yang ricuh karena tenaga pengajar yang belum juga datang.

"Assalamualaikum," ketika pintu dibuka dan salam dilontarkan, spontan semua anak-anak menjawab salam dan duduk di bangkunya masing-masing.

Aiza tetap mengekor pada Bu Maria sampai dia menaruh buku di meja guru. Tatapan anak-anak yang ada di dalam kelas kebingungan. Siapa perempuan ini? Anak barukah? Tidak ada informasi tentang anak ini sebelumnya.

"Baik anak-anak. Ini adalah siswa baru yang akan menjadi teman kalian di sini. Ini anggota baru kalian dan ibu harap kalian bisa menjaganya seperti kalian menjaga anggota lainnya juga. Silakan perkenalkan dirimu pada teman-teman di sini," ujar Bu Maria.

Aiza sempat melihat Bu Maria dan mengalihkan tatapan pada teman-temannya yang baru. Dia berdiri di depan kelas dalam keadaan gugup. Seandainya dia bisa hilang sekarang, mungkin itu akan menyenangkan.

"Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh," ucap salam Aiza.

"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh," jawab teman-temannya.

"Perkenalkan nama saya Aiza Alishba. Teman-teman bisa panggil saya Aiza. Saya pindahan dari SMA Anala. Apakah ada yang ingin bertanya?"
Salah satu siswa lelaki yang duduk di bangku paling belakang mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Aiza paham, pasti pertanyaan anak ini tak jelas. Tetapi karena dia adalah siswa baru, tentu dia tak bisa menolak permintaan anak tersebut.

"Pindahnya karena dikeluarkan dari sekolah?" pertanyaan anak lelaki itu membuat Aiza mengerutkan kening.

"Mulutmu dijaga dong!"

"Apaan sih kamu?"

"Nggak sopan deh!"

Kelas kembali ricuh karena mendengar pertanyaan nyeleneh dari salah satu temannya. Aiza hanya bisa menghembuskan napas untuk tetap bersabar. Sayangnya, dia harus menghabiskan waktu dua tahun bersama mereka.

Bu Maria sempat melotot dan menggelengkan kepalanya. Dia menyuruh Aiza untuk duduk di bangku paling depan nomor dua dari sebelah kiri.

"Halo Aiza. Maaf ya, Akmal emang kayak gitu. Namaku Navia, semoga kamu betah di sini," ujar Navia, perempuan berhijab bertubuh sedikit berisi. Dia mengulurkan tangan untuk berjabat dengan Aiza.

"Iya nggak papa kok. Udah biasa juga." Aiza tersenyum manis pada teman sebangkunya yang baru sambil menerima jabatan tangannya.

"Dari SMP mulutnya nggak pernah dijaga. Malu-maluin kelas terus. Nggak tau deh mau diapain lagi. Dia juga sering nggak masuk sekolah. Udah dimasukin ke kantor BK berulang-ulang kali. Tapi nggak pernah kapok." cerita Navia. Sepertinya dia orang yang cerewet. Baru saja kenal, dia sudah bicara panjang lebar. Aiza hanya tersenyum mendengarnya. Walau dalam hati dia mengutuk dirinya sendiri karena mungkin telah salah masuk kelas.

Walaupun begitu, Aiza sempatkan menoleh pada teman di samping kanannya. Dua gadis berhijab sedang mengukir senyum padanya. Gadis dengan kawat di giginya itu tampak lebih mungil dari gadis di sebelahnya. Aiza ingin berkenalan pada tetangganya itu. Tetapi sepertinya ini belum masuk jam istirahat. Dia tak ingin melakukan kesalahan untuk kedua kalinya.

***

July InfinityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang