Pepatah Tua

190 26 0
                                    

Hujan mulai sering turun. Musim untuk dunia belahan Barat sudah menjadi musim dingin. Sedangkan di Indonesia sendiri penghujan mulai menjadi primadona untuk belakangan ini.

Aku tak peduli dengan perayaan tahun baru yang baru saja dirayakan oleh para normies.

Menurutku tahun ini dengan tahun yang kemarin sama.

Sama-sama masih ada pagi, siang, sore, dan malam.

Aku anti dengan namanya sebuah televisi yang kadang menurutku menontonnya hanya buang-buang waktu. Terkadang bagi sebagian mereka, itu jadi hal penting. Contohnya saja dapat diambil dari pejabat gila tahta yang suka melihat rakyatnya kelaparan, bahkan tersiksa dengan bencana.

Ya begitu adanya realita sekarang. Tikus berdasi pemakan hak orang jadi penonton. Sedangkan kaum jelata dengan nafasnya tinggal separuh jadi korbannya.

*****

Aku mendapati sebuah berita awal tahun 2020 ini menjadi awal yang menyedihkan.

Bagaimana tak menyedihkan, bencana menyelimuti sebagian daerah yang sekarang bisa disebut 'mantan Ibukota'— jangan salah sangka, ini bukan menceritakan kenanganmu yang menyedihkan mengenai sebuah 'mantan'—ini menceritakan betapa Tuhan serasa ingin menghakimi kita.

"Sudah kubilang apa, saat seseorang bersenang-senang sedangkan kiamat sudah semakin dekat, Tuhan tak suka dan kun fayakun! Semua habis." Pria tua dengan tongkatnya di tangan sambil mengambil posisi duduk di kursi kayu dan tatapannya menatap televisi di hadapannya.

"Untuk apa menonton hal seperti itu. Untuk apa pula bergumam. Untuk apa mengkritik pula, jika mereka saja tak peduli. Percuma Kakek mengeluh seperti itu." Aku mengambil gelas berisi air, duduk di sampingnya dan menyodorkan gelas itu kepada pria tua itu.

Kakek meminum air pemberianku, lalu meletakkannya kembali. "Kau jadi anak jaman sekarang jadi lupa pepatah tua dahulu."

"Tak usahlah mengingat pepatah tua dahulu, sekarang jamannya sudah berbeda," jawabku dengan tangan yang masih asik mengupas bawang.

"Jaman dahulu dengan sekarang sama saja. Bedanya orang dahulu benar-benar takut berbuat kesalahan, tapi anehnya jaman sekarang semakin rusak. Mereka sendiri yang salah kelakarnya menyalahkan yang lain, masih bisa disebut manusia tidak orang seperti itu?" Ia menggelengkan kepala.

Mungkin ada benarnya kakek berbicara. Kadang sebuah bencana bukan sebab yang lain-lain, tapi sebab manusia itu sendiri.

Tuhan tak kan murka jika hambanya tak berbuat kesalahan.

Jadi, untuk bencana minggu pertama dalam tahun baru ini salah siapa?

Salah pemimpin yang berusaha adilkah?

Salah tikus berdasi?

Salah orang lain?

Salah Tuhan?

Atau jangan-jangan diri sendiri tak mau mengakui kesalahannya?

Dasar manusia. Aku sampai lupa bahwa diriku ini juga manusia, payahnya aku!

Dari Manusia Tukang Sambat
Untuk Kamu Yang Tersesat

6/01/2020
Senin

Like+komen+share! ❤

Delusi Abstraksi (SUDAH TERBIT)Where stories live. Discover now