Wattpad Original
Ada 2 bab gratis lagi

3. Sobat Laknat

133K 9.8K 229
                                    

Ada saatnya gue lelah, dan pengin sendiri. Entah menghibur diri atau hanya untuk berdiam diri.

...
Dengan kaki terangkat dan disenderkan pada tembok, Rania asyik ber-chatting ria dengan sahabat lamanya semasa kuliah yang sudah lupa daratan. Ya, gimana, ya ... masa nggak pernah gitu ngabarin dan kasih loker kek, apa kek! Dasar teman laknat!

Nalaknat:
Hoi, ape kabar lo? Udah bunting belom?

Lah anjur. Gimana bisa bunting. Si bego.

Rania:
Goblok ih, kawin aja belom!

Nalaknat:
Wakakakak. Gue kira udah nikah lu. Di mana lo sekarang? Suram amat snap lo nggak pernah keliatan beraktifitas. Jangan bilang lo di rumah aja, ya! Nganggur!

Rania:
Sayanganya, iye!
Nape lo?! Mo ngehujat juga?!

Entah kenapa, akhir-akhir ini Rania semakin sensi ketika ada yang menyinggung tentang pekerjaan padanya.

Nalaknat:
RAN?! SERIOUSLY?!

Rania memilih tidak membalas. Ia melempar ponselnya yang sudah lumayan ketinggalan jaman itu ke bagian kasur dekat kaki. Ibu, tetangga, Nala, semuanya sama saja!

Pintu kamarnya berderit, sehingga Rania yang sedang memejamkan matanya, terbuka tiba-tiba. "Ran?"

Oh, Kak Syafa. Rania menatap penuh tanda tanya. Soalnya biasanya kakaknya itu paling malas masuk ke kamarnya. Katanya kamar Rania berantakan, takut banyak kecoa.

"Apa, Kak?" tanya Rania malas-malasan.

"Tadi Ibu udah cerita. Jangan dipikirin, ya, Ran? Kakak emang belum pingin menikah, kok."

"Santai aja, Kak. Mungkin aku memang kurang usaha." Rania memejamkan matanya, tak peduli dengan dentingan ponsel yang berbunyi secara beruntun.

Syafa menghembuskan napasnya. Pasrah dengan Rania yang selalu cuek padanya. Mengedarkan pandangannya, Syafa menatap beberapa carik kertas yang tertempel di dinding kamar adiknya, juga kertas yang berserakan di meja belajar, tak lupa laptop putih yang terbuka. Setelahnya, Syafa memilih keluar saja, tak mau mengganggu Rania.

Setelah kepergian kakaknya, Rania kembali mengambil ponsel dan membaca pesan dari teman laknatnya.

Nalaknat:
Heh! Bales woy!!
GUE NANYA BENERAN INI WEH!
Ranianjir!
Heh! Mo kerja gak lau
Tapi, nyusul gue ke sini
Tempat kerja gue ada loker, Tai
Bales yaelah, Sompret, lu
Tar gue bantu bilang ke obos
Astaga, Raniasyique
Kalau lo berani nyusul gue ke sini, gue kasih kerjaan. Mayan lah, announcer

Rania:
Sabar, yaelah. Tadi lagi ngomong sama, Kak Syafa.
Lo Seriusan, La?
Lo gak lagi ngerjain gue, kan?! Tar ternyata gue kena prank.

Nalaknat:
Seriusan, ngapain gue boongin lo. Gak ada gunanya. Besok kalau lo mau ke sini, kabarin. Kalau bisa secepatnya, ya.

Senyum manis Rania terkembang. Pokoknya kali ini ia harus nekad! Rania sudah sangat bosan dengan omongan semua orang.
...

"Rania ... kamu nggak mau ganti ponsel?" tanya Pak Satyo tiba-tiba ketika sedang makan malam.

Rania pun menghentikan kunyahannya, menatap dengan alis bertaut pada ayahnya. "Nggak lah, Yah. Besok aja kalau Rania udah punya uang sendiri." Mungkin kalau ayahnya menawarkan hal itu ketika ia masih di bangku kuliah, Rania akan dengan senang hati mengiyakan. Tapi, sekarang situasinya sudah berbeda, Gengs!

Sejujurnya sedari tadi ia sedang menimbang akan mengatakan keinginanya atau tidak. Tapi, kalau kelamaan, nanti bisa-bisa pekerjaan yang ditawarkan Nala keburu disabet orang.

"Halah kamu ini, Ran. Kerjaan aja makan-tidur-main hape, sok-sokan mau beli ponsel sendiri. Mau beli pake daun?" Bu Satri, kenapa engkau kedjam sekaliiii!

Rania meringis ketika lagi-lagi disindir tentang pekerjaan. Ya Tuhan, Rania pingin jadi remote TV aja sekarang!

"Bu," tegur Pak Satyo tidak suka. Pria paruh baya yang umurnya sebentar lagi setengah abad itu memang tidak suka anaknya diomong seperti itu. Toh, masih ada dirinya yang memang seharusnya bertugas mencari nafkah.

Luvyu, Ayah!! Sumpah, ya, Rania pengin mencium ayahnya sekarang juga!

Tapi, kan, yang dikatakan Bu Satri benar. Duh, Rania jadi semakin pengin nerima tawaran Nala. Menarik napasnya, ia mencoba memberanikan diri. "Rania mau minta izin sama Ayah dan Ibu, besok aku bakal merantau. Ada tawaran kerja
bagus, biar nggak jadi beban Ibu dan omongan tetangga lagi."

Sontak saja, dentingan sendok yang beradu dengan piring berhenti. Semua anggota keluarga menatap Rania dengan pandangan yang berbeda-beda.

"Serius kamu, Ran? Memangnya nggak ada kerjaan yang di sini saja?" tanya Pak Satyo kelihatan tidak setuju. Ya, bagaimana yaa ... keluarganya baru kumpul ketika Rania lulus kuliah—karena semasa kuliah Rania memilih ngekos. Itu berarti baru dua tahun. Dan melepas anak bandelnya itu merantau rasanya sulit.

"Jangan bercanda, Rania! Ibu nyuruh kamu kerja di sini saja. Nggak apa-apa lah gajinya kecil, yang penting punya penghasilan sendiri."

"Gila lo, Ran! Gue nggak setuju. Mending lo nganggur aja."

"Nambah pengalaman, Yah. Besok berangkat, kalau Ayah nggak bisa ngantar ke stasiun, biar minta Calvin aja," jawab Rania seraya tersenyum. "Kayak kemarin aku nggak pernah ninggalin rumah aja."

Tiga orang dewasa itu terdiam, masih merasa keberatan dengan kepergian Rania untuk merantau.

"Kalau itu memang mau kamu, Ayah nggak bisa maksa, Ran. Asal kamu bisa jaga diri, dan kalau ada apa-apa kabari Ayah," Pak Satyo yang akhirnya angkat bicara.

Syukurlah ayahnya mengizinkan. Tetapi, ekspresi Pak Satyo berubah tajam. "Jangan macam-macam di sana. Besok Ayah antar."

Rania tersenyum lebar sambil mengangguk-anggukan kepalanya antusias. Titah dan perkataan Pak Satyo jelas nggak ada yang berani membantah.

"Maafin Rania kalau bikin Ibu dan Ayah jadi olok-olokan tetangga, ya." Rania bangkit dari duduknya lalu mengacak rambut Reka sebelum masuk ke kamarnya. Dalam batin ia memaki dirinya sendiri. Cih! Baperan.

...

RANJU: Yaudah Lah!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang