Anak Kincir Air

281 12 0
                                    

Oleh Ekky Armanda

Bobo Nomor 13 Tahun XXIX 28 Juni 2001

Sudah seminggu ini lapangan dekat sekolah kami kedatangan rombongan sirkus. Ada kincir air, sulap, kereta api mini, topeng monyet, penjual martabak. Lapangan kecil yang biasa kami gunakan untuk olah raga kini dipenuhi rombongan sirkus itu. Karcis yang dijualnya seribu rupiah.

Di stan kincir air ada seorang anak lelaki yang pandai berpromosi menggunakan pengeras suara. Suaranya melengking tinggi membuat orang-orang tertarik dan membeli karcis untuk naik kincirnya. Saat bertugas, ia selalu tampil rapi. Memakai jas dan dasi kupu-kupu, serta sepatu gelap. Ia sering mengintip ke kelas kami. Jika kami dekati, ia berlari ke perkampungan sirkusnya.

Suatu sore aku dan kakakku mengantar adikku naik kincir air. Aku bersemangat karena sangat suka melihat tingkah anak penjaga kincir itu. Namun sore ini dia hanya duduk-duduk di bangku pintu masuk membantu menyobek karcis. Wajahnya lesu.

"Kok tidak jadi pembawa acara?" sapaku.

"Sedang sakit," jawabnya sembari menyobek karcis.

"Sakit apa?" kataku mendekatinya. Adikku sudah naik bersama Kakak. Ia tidak menjawab tetapi malah balik bertanya.

"Tidak naik?" tanyanya. Kali ini agak tersenyum sedikit.

"Malas," jawabku enteng.

Kami berbincang-bincang agak lama. Setelah adik dan kakakku turun, aku terpaksa berpisah dengannya. O ... ya, nama anak itu Slamet Susetyo. Ia ikut rombongan karena bapaknya adalah penanggung jawab kincir air itu. Katanya, mula-mula bapaknya tidak mengizinkannya ikut rombongan sirkus, karena ia harus sekolah. Tapi karena pernah ikut rombongan saat liburan panjang, Slamet jadi ketagihan dan lupa sekolah.

"Aku sudah melihat hampir seluruh kota di Pulau Jawa," kata Slamet bangga sewaktu kutanya apa untungnya ikut sirkus. "Tapi sekolahku jadi tidak karuan. Tahun ajaran baru mungkin aku akan pulang ke rumah, sekolah lagi di tempat Nenek. Biar Bapak dan Ibu saja yang keliling ..." katanya menerawang.

Dua hari ini Slamet tidak pernah kelihatan di emperan sekolah kami. Rupanya sakitnya membuat ia malas keluar. Padahal suaranyalah yang membuat orang-orang tertarik naik kincir.

Keesokan harinya, suara riangnya kembali terdengar.

"Ayo ayo ayo! Bapak-bapak, Ibu-ibu, kakak-kakak, adik-adik sekalian ... bersama kami terbang ke angkasa, berputar, rasakan ketegangannya ..." begitu teriaknya diselingi jogetan kecil mengikuti irama musik yang keluar lewat pengeras suaranya.

Aku gembira ia telah sembuh. Melihat aku mendekatinya ia melambaikan tangan sembari tersenyum.

"Besok aku ke sekolahmu, boleh?"

"O ... bbbooo ... leh," jawabku gagap.

Sore itu aku naik kincir air. Gratis.

Pagi berikutnya kulihat Slamet sudah berada di dekat pintu pagar. Melihat aku, ia tersenyum dan melambaikan tangannya. Kali ini pakaiannya rapi walaupun tidak memakai seragam merah-putih.

"Saya ikut ke dalam kelas boleh tidak?"

"O ... boleh ..." jawabku tanpa pikir panjang. Padahal aku belum minta izin pada guruku. Belum sempat aku berpikir panjang, bel masuk berbunyi.

Kami masuk. Slamet duduk di sampingku. Teman-teman heran melihat aku menggandeng anak yang penampilannya agak lusuh. Belum sempat kukenalkan Slamet pada teman-teman, Bu Wiwi masuk.

"Selamat pagi anak-anak ...!"

"Selamat pagiiii .... Bu ..." jawab kami serentak.

"Lo? Itu siapa?" tanya Bu Wiwi menunjuk Slamet.

Aku diam. Bingung. Slamet menginjak sepatuku. Aku diam saja. Kulihat Bu Wiwi mendekatiku tetapi aku tak berani memandangnya.

"Pindahan dari mana?"

Slamet menundukkan kepalanya. Kakiku diinjaknya sekali lagi.

"Sudah lapor pada Kepala Sekolah?" tanya Bu Wiwi. Slamet mulai gelisah. Keringatnya menetes dari dahi dan bawah telinganya. Tiba-tiba Slamet berdiri dan berlari keluar kelas. Tanpa pikir panjang kukejar dan kuajak kembali ke kelas.

"Maaf, Bu. Ini teman saya, namanya Slamet Susetyo. Slamet ini bekerja pada sirkus, ikut ayahnya. Ia ingin ikut belajar, Bu," ujarku memberanikan diri.

"Ya, aku ingin sekolah lagi. Aku menyesal ikut Ayah di sirkus ..." ucap Slamet sembari meremas-remas jari-jarinya.

Bu Wiwi memandang Slamet dengan ramah.

"Kamu yang setiap sore menjadi pembawa acara di kincir air, ya? Mau ikut sekolah?" tanya Bu Wiwi sembari memegang kedua bahu Slamet. Slamet mengangguk sambil tersenyum.

 Slamet mengangguk sambil tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Bagus. Anak-anak mari kita mulai pelajaran ini dengan mendengarkan cerita teman baru kita. Setuju?"

Tanpa dikomando kami bersorak-sorai.

Mendengarkan cerita Slamet, kami jadi bersemangat belajar. Ya, Slamet mengajari kami bagaimana menjalani dan mengisi hidup ini. Ia mengajari kami untuk tetap semangat belajar!

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang