Sepatu Putih, Merah, Biru, Hijau, Ungu ...

81 4 0
                                    

Oleh Sucahyo Widiatmoko

Bobo No. 42/XXVIII/01


Ketika pulang sekolah, Piyun berjalan kurang hati-hati. Akibatnya .... "Aduh ...!!" Piyun menjerit kesakitan. Kaki kanannya tersandung gundukan aspal, yang biasa disebut polisi tidur. Ia memegangi ujung sepatunya, memijit-mijit ibu jari kakinya yang berdenyut-denyut nyeri. Mulutnya meringis menahan sakit.

Setelah agak reda, Piyun berjalan lagi

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Setelah agak reda, Piyun berjalan lagi. Langkahnya tertatih-tatih. Baru beberapa meter ia merasakan sesuatu yang aneh. Ada yang tak beres di sepatu kanannya. Ia berhenti, lalu menengok ke sepatunya.

"Ya, ampuuun ..., lepas lagi!" gumam Piyun. Matanya memelototi sol sepatunya yang lepas. Bagian depan sepatu itu menganga lebar. Seperti mulut yang lapar minta makan.

"Padahal baru kemarin dikasih lem, sekarang lepas lagi," ujarnya sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal.

Belakangan ini Piyun selalu direpotkan sepatu itu. Solnya sering lepas dan jahitannya robek. Teman-teman sering menertawakannya. Padahal sepatu itu milik Piyun satu-satunya. Ibu membelinya lebaran tahun lalu. Mau beli yang baru? Ah, rasanya tak mungkin. Ibu belum punya cukup uang untuk membeli sepatu baru. Jadi Piyun harus bersabar sampai lebaran yang akan datang.

Piyun melangkah lagi. Ia pura-pura pincang, sehingga sol sepatunya yang lepas tidak kelihatan. Kalau ada orang bertanya, dengan santai ia menjawab, "Sedang latihan drama!"

Ketika melewati pertigaan jalan, Piyun melihat Pak Kiran sedang mengecat sebuah rumah besar. Biasanya Pak Kiran mengecat bersama Narto. Tapi hari ini Narto tak kelihatan. Aha! Tiba-tiba terlintas ide cemerlang. Pelan-pelan Piyun mendekati Pak Kiran.

"Selamat siang, Pak Kiran," sapa Piyun.

"Selamat siang, Piyun," balas Pak Kiran. "Baru pulang sekolah?"

Piyun mengangguk.

"Pak Kiran mengecat rumah besar ini seorang diri?" tanya Piyun.

"Iya. Narto yang biasa membantuku sedang mengecat rumah yang lain. Terpaksa aku mengerjakannya sendiri," jawab Pak Kiran.

"Pak Kiran tak keberatan jika saya bantu?" Piyun menawarkan jasa.

"Kamu serius?" Pak Kiran balik bertanya.

"Serius, Pak!"

"Kalau begitu, kamu pulang dulu. Setelah ganti baju dan makan, cepat-cepat ke sini," kata Pak Kiran.

"Baik, Pak!" Piyun mengangguk. Ia bergegas pulang. Setelah ganti baju dan makan siang, ia pamit pada Ibu. Lalu kembali menemui Pak Kiran.

Pak Kiran memberi Piyun sekaleng cat, kuas, dan sebuah tangga kecil. Sambil menunjuk bagian rumah yang harus dicat, Pak Kiran juga mengajari cara mengecat yang baik.

 Sambil menunjuk bagian rumah yang harus dicat, Pak Kiran juga mengajari cara mengecat yang baik

Rất tiếc! Hình ảnh này không tuân theo hướng dẫn nội dung. Để tiếp tục đăng tải, vui lòng xóa hoặc tải lên một hình ảnh khác.

Piyun bekerja. Ia mengecat rumah itu hingga sore hari. Pak Kiran puas melihat hasil kerja Piyun. Bersih dan rapi.

"Besok siang datang lagi, ya? Kita akan mengecat bagian belakang rumah ini," pesan Pak Kiran sebelum pulang.

Sejak saat itu, Piyun bekerja sebagai tukang cat membantu Pak Kiran. Pesanan mengecat rumah banyak sekali. Awalnya Ibu tak setuju Piyun bekerja. Tapi akhirnya Ibu mengizinkan, asal tidak mengganggu belajar.

Dua minggu menjadi tukang cat, Piyun bisa membeli sepatu baru. Harganya tak begitu mahal, tapi modelnya bagus. Jahitannya pun awet. Ibu yang memilihkan sepatu itu.

Tentu saja Piyun bangga bisa membeli sepatu dari hasil keringat sendiri. Sekarang teman-teman tak ada lagi yang menertawakannya.

"Sepatumu bagus, Yun. Tapi lebih bagus sepatuku. Mereknya terkenal!" kata Bobi sombong. Ia menunjukkan sepatu yang dipakainya.

"Sepatumu memang bikinan luar negeri. Tapi sepatuku lebih unik dibanding sepatumu," ujar Piyun.

"Apa uniknya?" tanya Egi.

"Coba lihat, apa warna sepatuku?" tanya Piyun.

"Putih!" jawab Bobi dan Egi.

"Salah!" Piyun menggeleng.

"Kok bisa salah?" Bobi dan Egi bingung.

"Warna sepatuku memang putih. Itu kelihatannya saja. Sebenarnya sepatuku ini berwarna-warni," kata Piyun.

"Berwarna-warni? Apa maksudnya?" Bobi dan Egi tambah bingung.

"Dua minggu ini aku bekerja sebagai tukang cat. Tiap hari aku mengecat dengan cat warna-warni. Ada putih, merah, hijau, biru, ungu, dan banyak lagi. Nah, uang hasil mengecat kubelikan sepatu ini. Jadi, sepatuku ini sebenarnya berwarna-warni," Piyun menjelaskan.

"Ooo ..." Bobi dan Egi melongo, entah mengerti atau bingung dengan jawaban Piyun.

Piyun tak peduli. Yang penting ia bangga dengan sepatu barunya. Sepatu berwarna putih, merah, biru, hijau, biru, ungu ....


Hai! Terima kasih telah membaca kliping cerita ini. Kalau kamu suka membaca kliping sejarah juga, silakan berkunjung ke http://klipingsejarahku.blogspot.com/.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Nơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ