Kejutan Liburan

303 10 0
                                    

Oleh Natalia Lie

Bobo Nomor 13 Tahun XXIX 28 Juni 2001

Waktu itu kami sedang liburan. Seperti biasanya kami berkumpul di rumah Nenek. Seluruh sanak saudara datang berjejal-jejal masuk ke rumah berlantai tiga itu. Semua orang akan tinggal hingga larut malam. Aku senang karena aku bisa bermain-main dengan sepupuku, John. Kami cocok dalam segala hal. Kami suka olah raga.

Pukul sembilan pagi rumah Nenek sudah hiruk-pikuk. Keluarga kami adalah keluarga 'tradisional'. Ibu-ibu bekerja keras tiada henti. Mulai dari memasak, menyiapkan meja, berteriak-teriak memberi perintah. Nenek yang jadi pemimpinnya. Sementara itu semua pria berada di luar rumah, bermain bola basket. Kalau aku dan John, di ruang TV bersama saudara-saudara yang lain.

Tontonan kami terputus waktu sepupu tertua kami, Marguerite yang berbadan tinggi dan ceking seperti seuntai spaghetti, muncul di pintu. "Coba lhat apa yang aku temukan!" serunya.

Di tangannya ada sebutir telur cokelat besar sekali. Ukurannya sebola soft ball dan masih terbungkus kertas timah. Anak-anak kecil bangkit untuk melihat lebih dekat. Aku dan John pura-pura tidak tertarik.

"Bisa kita makan tidak?" Ellen bertanya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Bisa kita makan tidak?" Ellen bertanya. Matanya lebar seakan-akan dia belum pernah melihat cokelat telur.

Aku sih sudah tahu jawabannya sebelum Marguerite menjawab. "Tidak bisa!" jawabnya sambil meninggalkan kami.

"Hei John," bisikku. "Ayo kita cari telurnya. Nanti kamu makan setengah dan aku setengahnya lagi. Kita tak akan menyisakan untuk si Nona Spaghetti itu barang secuil pun."

"Ide bagus," bisik John.

Butuh waktu lima belas menit untuk menemukan cokelat telur yang berada di kursi di salah satu satu kamar tidur, di lantai tiga.

"Lebih baik telurnya jangan dimakan di sini," kata John. "Bagaimana kalau di hutan?" Supaya dapat sampai ke hutan, berarti kami harus melewati pintu belakang. Dan untuk itu, harus melewati dapur. Tanpa berpikir lagi, kami cepat-cepat masuk ke sana. Tak ada seorang pun di sana! Ruangan itu sunyi senyap. Kosong.

Kami berlari menuju pintu. Tiba-tiba terdengar suara dari pintu belakang. Ternyata Marguerite, bersama ibuku dan Nenek kembali ke dapur. Padahal aku sedang memegang telurnya.

"Ini John! Sembunyikan!" aku melempar telur kepada John. Ia menangkap telur tepat di samping tungku yang siap memanggang kalkun. John memandang berkeliling dengan panik. Dengan menahan napas ia mendesak masuk telur ke dalam kalkun.

Tepat pada waktunya, pintu terbuka. Masuklah Mom, Nenek, Marguerite, dan keluarlah kami berdua.

"Hei, Anak-anak! Bagaimana kalau kita main basket?" pamanku memanggil. Padahal saat itu kami sedang berpikir apa yang sebaiknya dilakukan. Betul-betul gangguan. Tetapi lima jam berikutnya kami betul-betul bersenang-senang. Bermain bola basket dengan paman, main petak umpet dengan sepupu yang lain, serta memanjat pohon di hutan. Kami betul-betul lupa soal telur. Kemudian kami mendengar, "Makan malam!"

Aku berlari ke rumah secepat mungkin, mencuci tangan lalu pergi ke ruang makan. Keluarga kami begitu besar sehingga harus ada dua meja yang disiapkan. Meja besar dan meja kecil.

Aku mengambil tempat duduk di meja besar. Air liur menetes karena aku lapar sekali. John duduk di seberangku. Tak lama pintu terbuka dan masuklah ibu-ibu dengan hidangannya. Sebelum aku sadar, aku sudah mendapatkan makan malam di hadapanku. Kalkun beserta isinya, kentang tumbuk, kacang polong, saus cranberry. Nyam, nyam! Kami mengucapkan doa mulai makan.

Tiba-tiba Paman Dan berkata dengan suara keras, "Ada yang tidak beres.

"Apanya yang tidak beres?" Nenek bertanya, ia tampak cemas.

"Isi kalkunnya terasa lucu," sahut Paman Dan.

"Memang rasanya seperti apa?"

"Tunggu sebentar," Paman Dan berkata, sambil mencoba seiris kalkun. Ia mengunyah beberapa saat lalu menelan. "Rasanya seperti cokelat."

Begitu ia bilang cokelat, garpuku langsung jatuh ke piring dan aku menutup muka. Aku tak mau ada orang lain melihatku. Tapi aku juga tak mau melihat orang lain. Jadi aku tetap menaruh tanganku di atas muka, menyembunyikan mataku.

Nenek segera berkeliling meja. Ia mengambil irisan kalkun dari piring setiap orang. Nenek tidak mau keluarganya makan masakan yang rasanya lucu. Pada saat yang sama, Marguerite segera meninggalkan meja makan. Ke mana ia pergi? Ke lantai tiga!

Beberapa detik kemudian ia sudah kembali dan mengumumkan, "Ada yang mengambil telur cokelatku, dan aku rasa aku tahu siapa orangnya."

Perlahan-lahan aku menurunkan tanganku. Marguerite menatap tepat ke arahku. Di sampingnya duduk ayahku. Aku belum pernah melihatnya semarah ini. Oo ... celakalah aku!

Namun, sebelum jantungku berdebar kencang, cemberut ayahku berubah menjadi senyum. Dan semua orang tergelak-gelak. John dan aku cuma bisa terpana.

Lalu ayahku mengambil sesuatu dari pangkuannya dan menarik keluar sebutir telur cokelat yang sangat besar. Masih terbungkus kertas timah. Mereka telah menjebak kami. Telur itu tidak terpanggang dan tidak meleleh di dalam kalkun. Ternyata mereka sudah menemukannya lebih dulu dan mengambilnya.

"Kena kalian, anak-anak." Ayah memberikan telur itu kepada Marguerite, yang kelihatan sama terkejutnya seperti aku dan John.

" Ayah memberikan telur itu kepada Marguerite, yang kelihatan sama terkejutnya seperti aku dan John

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Kalian juga akan mendapat sesuatu," kata ayahku kepada kami berdua. Sementara Nenek berjalan berkeliling meja untuk menaruh kembali potongan kalkun ke atas piring setiap orang. "Sesudah makan malam nanti kalian berdua harus mencuci piring. Bagaimana?

Semua orang tertawa, tergelak-gelak. John dan aku berpandang-pandangan dan ikut tertawa juga. ***

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Where stories live. Discover now