Sahabat

68 4 0
                                    

Oleh: Kemala P.

Bobo Nomor 44 Tahun XXVIII 1 Februari 2001


Pagi ini Puput tiba di sekolah agak terlambat. Gara-gara ada tabrakan di jalan, jalanan agak macet. Untung pintu gerbang belum digembok, pikir Puput.

"Terlambat, Put?" tegur Nani si ketua kelas. "Tenang saja. Bu Guru belum datang kok," kata Nani lagi.

Puput menuju bangkunya dengan agak santai. Dia duduk, lalu mengeluarkan buku matematika, kotak pensil dan ....

"Aduh!" Puput menjerit kaget. Punggungnya ada yang menjepret dengan karet gelang. Ia menoleh ke belakang dengan marah-marah.

"Hei, jangan jepret-jepret seenaknya dong!" teriaknya marah.

Karel tertawa. "Sori. Aku enggak sengaja," katanya.

Puput mau membalas, tapi Bu Guru sudah masuk.

"Buka buku matematika halaman lima puluh dua. Puput! Coba kamu kerjakan soal nomor satu di papan tulis," ujar Bu Guru kemudian.

Puput menyorongkan kakinya akan memakai sepatu. Tetapi sepatunya tidak ada.

"Aduh, sepatuku di mana sih?" keluhnya. Dia berdiri, membungkuk di sisi bangkunya mencari-cari sepatu.

"Puput! Apa yang kamu cari?" tegur Bu Guru.

"Sepatu saya, Bu," sahut Puput malu. Ternyata sepatunya berada di bawah bangku Ita yang duduk di depannya. Pasti Karel yang menendang sepatu itu sampai ke sana.

"Sepatu jelek saja dicari," ledek Karel.

Puput mendelik marah. Namun Karel malah senyum-senyum tanpa dosa. Aku tidak tahan kalau begini terus, gumam Puput di dalam hati. Setiap hari ada saja ulahnya. Kemarin memasukkan kecoak ke dalam tasku sehingga aku menjerit-jerit karena jijik. Kemarin dulu penghapusku yang dia ambil. Ugh, lebih baik aku bujuk Mama agar memindahkanku dari sekolah itu, pikirnya lagi.

"Pindah sekolah?" Mama mencopot kacamata bacanya. "Kamu baru satu bulan sekolah di sana, masa mau pindah?" nada suara Mama meninggi.

 "Kamu baru satu bulan sekolah di sana, masa mau pindah?" nada suara Mama meninggi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Tidak betah, Ma. Anaknya bandel-bandel," air mata mulai memenuhi kelopak mata Puput.

"Semuanya?" dahi Mama berkerut.

"Bukan semua. Cuma satu. Si Karel. Tapi bandelnya minta ampun."

"Kalau cuma satu orang mestinya kamu bisa mengatasinya. Kamu kan sudah besar. Sudah kelas lima."

"Tapi dia kelewatan, Ma," keluh Puput. Air mata mengalir di pipinya.

"Lo, kok jadi nangis? Apa dia suka menyakiti kamu?"

Puput menggeleng.

"Dia suka mengancammu?"

Sekali lagi Puput menggeleng. "Dia selalu mengganggu, Ma," sahutnya.

Kumpulan Cerpen dan Dongeng Bobo 2001Where stories live. Discover now