Ren mundur, mengambil ancang-ancang, lalu lari memanjat dinding. Wall run, namanya. Ia berdiri di atas benteng sekarang. Sebetulnya mudah saja melompat langsung ke tanah dengan teknik tuck and roll. Namun itu berarti bajunya akan kotor karena berguling di rumput basah. Ada pagar yang bisa jadi pegangan dan pijakan, memperpendek jarak. Ren pun meloncat turun dengan mulus. Ia langsung berlari menuju bangunan sekolah, menaiki tangga. Tiga lantai, tidak ada lift. Ia sampai di kelasnya, 12 IPA Avicenna. Tepat seperti perkiraannya, 20 menit menjelang bel pergantian pelajaran. Ren mengatur napas.

Sekarang pelajaran matematika yang diampu Pak Royan, wali kelas. Guru tua legendaris itu tidak berkeberatan diinterupsi saat mengajar. Menurutnya, wawancara sebentar dengan siswa yang terlambat dapat memberikan masukan positif juga bagi kelas. Jangan coba-coba mengarang alasan. Pak Royan ahli membaca bahasa tubuh, menangkap kebohongan semudah melihat jerawat di jidat. Bukan berarti tidak ada konsekuensi. Telat berarti PR tambahan dengan jumlah dan tingkat kesulitan setara keterlambatan. Dalam kasus Ren, mungkin sekitar 20 soal untuk dikerjakan dalam satu jam di rumah.

Pak Royan tidak memberi pilihan lain kepada siswa kecuali datang tepat waktu atau menjadi lebih terlatih menghadapi ujian nanti.

Ya, ujian. Momok itu sudah didengungkan Pak Royan sejak hari pertama kelas 12. Memang beredar wacana penghapusan ujian nasional dan perubahan sistem penerimaan mahasiswa baru perguruan tinggi negeri. Baru wacana. Jangan pedulikan. Jangan berspekulasi. Dihapus atau diubah, tugas siswa kelas 12 tetap: lulus dengan gemilang, lalu terjun dalam persaingan nasional untuk lanjut kuliah. Atau bekerja.

Ren mengintip dari jendela dan tercengang karena suasana kelas tidak sesepi kuburan sebagaimana biasanya jam Pak Royan, tetapi juga tidak sekacau jam kosong. Anak-anak menulis di bangku masing-masing, sebagian berdiskusi tenang, sesekali tertawa. Jelas, Pak Royan tidak ada. Absenkah?

Ya Allah, Gusti nu Agung, terima kasih.

Ren masuk, disambut tulisan Welcome HeLL dengan spidol merah sepenuh papan tulis. Doodle-nya khas Arvind.

"Oy, Ren! Kamu sekarang duduk di depan, tuh!" Arvind di belakang kelas berseru.

Ren baru menyadari perubahan posisi anak-anak. Tempatnya di pinggir kiri dekat jendela sudah diduduki gadis berjilbab yang tidak dikenalnya. Ada murid baru juga? Begitu banyak perubahan dalam satu jam! Satu-satunya kursi kosong tinggal di depan tengah, sebangku dengan Wening. Ren menggantung ranselnya dan duduk.

Euis di belakangnya memprotes. "Yah, atulah, kacida teuing, Ren. Aku tuh enggak perlu mengagumi punggung dan rambutmu dari dekat setiap hari sepanjang tahun. Sudah penuh jadwal bucin-ku buat 7 bias. Ketambahan kamu adalah penderitaan terbesar sepanjang zaman."

Wening membalikkan badan. "Lihat untungnya dong, Is. Ren menutupi kamu dari mata elang Pak Herdin."

"Pak Herdin?" Ren menaikkan kacamata. "Ning, Pak Royan ke mana?"

"Istrinya semalam stroke, masuk rumah sakit. Pak Royan bakal cuti lama. Pak Herdin jadi pengganti, ditransfer dari SMPGEM. Keluarkan bukumu, tulis esai 300 kata tentang Hell di kelas 12 versi kamu."

"Itu tugas dari Pak Herdin?"

"Yep. Dan enggak, jadwal pelajaran enggak berubah. Tetap matematika sekarang. Dia bilang, ini cuma perkenalan sekalian mewujudkan tulisan di papan itu. Sudah, cepat tulis. Bentar lagi bel."

"Tiga ratus kata, kira-kira berapa halaman?" Ren melongok buku tulis Wening yang terbuka. Satu halaman sudah terisi padat dan rapi. Wening, sang pemasok catatan kualitas premium! Tidak seperti catatan Ren, lengkap tetapi tulisannya jarang-jarang, perlu lebih banyak duit untuk fotokopi.

Take My HandWhere stories live. Discover now