• 7iOY || 08. Jeano 'Ganteng' Mahendra •

224 25 1
                                    

"Latihan doang berasa turnamen nasional, njirrr!" Aldo---salah satu anggota klub basket NHS menggumam ngeri.

Cello hanya terkekeh sambil memperhatikan sahabat, rekan seasrama, sekaligus kapten basket mereka. Siapa lagi kalau bukan Jeano 'Ganteng' Mahendra.

Orang yang jadi alasan banyak gadis berkumpul di tribun penonton. Ada yang berteriak heboh, memotret terang-terangan, bahkan memperhatikan penuh kagum dalam diam.

Iya, mereka hanya menonton Jeano latihan.

Jeano si crush sejuta umat yang tidak tersentuh. Saking tidak pernah pacarannya, orang bahkan pernah menggosipkannya homo dan suka pada Nael---makhluk yang selalu nebeng padanya setiap pulang-pergi sekolah.

"Hidup Jean terlalu enak nggak sih? Udah ganteng, selalu juara 1 umum, kadang 2 kalau disalip Nael, badannya ganteng, suaranya ganteng, typingnya ganteng, otaknya ganteng, sampe isi dompetnya juga ganteng." Aldo mengomel lagi yang semakin membuat Cello terkekeh geli.

"Lo mah tau gantengnya aja, nggak pernah liat jeleknya." Cello menanggapi santai sambil terus memantulkan bola basket di tangannya.

"Emang dia pernah jelek? Dia baru bangun tidur aja kayaknya udah ganteng sih," sahut Aldo penuh keyakinan.

Cello tidak menanggapi lagi. Mengerti betul seharusnya dia tidak berbicara sampai sejauh itu tentang sahabatnya.

"Tapi nggak pa-pa sih kalau jelek dikit, kan banyakan gantengnya. Jadi hidupnya pasti tetep enak," gumam Aldo lagi sambil memandangi Jeano yang kali ini duduk beristirahat di sisi lapangan.

Cowok itu kemudian didatangi beberapa gadis. Ada yang meminta nomor telepon, memberi sebotol air, bahkan tissu.

"Mana ada hidup orang enak semua, nyet. Hidup orang keliatan enak ya karena dienak-enakin aja."

"Lah, hidup gue apanya yang mau dienakin coba? Udah miskin, tampang kayak topeng pulu-pulu, bego lagi."

"Itumah lo kurang bersyukur aja, anjeeeng! Bego tapi sekolah di NHS pake jalur tes! Sok merendah bener lo, bangsat!" maki Cello emosi.

"Yaiyasih, kalau lo kan jalur nyogok, ya?" sahut Aldo bergurau.

"Palalo gue beli ntar! Enak aja! Mau liat hasil tes gue? Hah?!" sarkas Cello semakin emosi.

Aldo tertawa geli. Dia memang senang membuat Cello kesal sejak awal.

"Bercanda aelah! Gue tau otak lo ganteng juga kayak Pak Kapten."

***

"Udah selesai latihannya, sayang?" Leticia bertanya pada putra bungsunya yang memasuki dapur.

Jeano mengangguk sambil menyalami punggung tangan sang bunda.

"Ayah di rumah, Bun?" tanya Jeano lirih.

Leticia menggeleng. "Ada kerjaan di luar kota, jadi nggak pulang dulu katanya seminggu ke depan."

Jeano tanpa sadar menghela napas lega. Hal yang diam-diam membuat Leticia tersenyum getir.

Putranya bahkan senang tidak bertemu dengan ayahnya sendiri. Hubungan mereka rupanya memang sudah separah itu.

"Kamu kenapa transfer balik uang jajan yang dikasih ayah? Dia marah loh. Kalau nggak dikasih uang bulanan lagi gimana?" tanya Leticia hati-hati begitu putranya kini sibuk memotong sayur yang belum ia selesaikan.

Sejenak, pergerakan Jeano terhenti. Beberapa saat kemudian, rautnya berubah santai. Ia bahkan menatap sang bunda dengan mata sipitnya sembari tersenyum lebar.

"Jean nggak mau makan pake uang haram, Bun. Jean nggak mau jadi seperti Ayah," ucap pemuda 17 tahun itu lembut.

Namun, entah kenapa, Leticia merasa sakit mendengarnya.

"Nanti kalau Jean udah dewasa dan bisa ngehasilin banyak uang sendiri ... Jean bakal bawa Bunda pergi. Bunda mau ikut Jean, kan?" tanya anak lelaki yang baru ia sadari sudah beranjak dewasa itu lembut.

Leticia mengangguk ribut. Mencoba tersenyum menenangkan agar putranya merasa lebih baik, tapi dia malah menangis.

Jeano yang melihat hal itu, kontan menarik sang bunda ke dalam dekapan.

"Kenapa nangis? Ayah nyakitin Bunda juga? Dia nggak cukup sama Jean? Padahal Jean udah ngelakuin semua yang dia mau." Jeano bertanya beruntun.

Leticia tidak mengatakan apa-apa. Dia hanya menangis selama beberapa menit di pelukan hangat putranya. Pemuda jangkung yang bahkan membuat Leticia kini harus mendongak saat menatapnya.

Sejak kecil, Jeano selalu dituntut mendapat nilai sempurna oleh ayahnya. Jika sampai ada nilainya yang cacat, atau saat dia kalah dari Nael, Dimas akan menghukumnya.

Entah itu dalam bentuk makian, bahkan pukulan.

Dimas Mahendra, seorang pejabat dengan pangkat tinggi di masyarakat. Politikus yang terus naik posisi karena kecurangannya. Pria itu juga tak segan melakukan korupsi, seperti jenis-jenis politikus bertangan kotor pada umumnya.

Itulah yang membuat Jeano tidak pernah bisa dekat dengan ayahnya. Dimas bahkan terang-terangan mengajarkan Jeano untuk tak ragu berbuat curang jika diperlukan.

Tentu saja hal tersebut bertentangan dengan prinsip yang diajarkan oleh Bundanya. Jeano bahkan tidak mengerti bagaimana Leticia bisa menikah dengan orang seperti ayahnya.

"Oh iya, tadi Om Bintang nyariin kamu karena tau kamu pasti pulang. Coba kamu ke rumah Nael dulu sebentar," ucap Leticia begitu mereka menguraikan pelukan.

"Nael udah pulang ke rumahnya juga, Bun?" tanya Jeano.

"Belum sih kata Bundanya tadi, tau kan anak itu kalau udah pergi kegiatan relawan. Bisa sampe nginep," jawab Leticia yang diangguki Jeano setuju.

"Dari dulu dia emang gitu sih, Bun. Yaudah ... aku ke rumahnya Nael dulu, ya?" pamit Jeano sambil memberikan satu kecupan di pipi sang bunda.

Leticia memandangi kepergian putranya dalam diam. Ia sangat bersyukur karena keluarga Nael begitu baik pada Jeano.

Jeano bahkan menghormati Bintang---ayah Nael, lebih baik dari ayahnya sendiri. Di saat Dimas hanya mengajak Jeano bicara soal nilai dan sekolah, Bintang memberi putranya kasih sayang, mengajarkan mana yang baik dan buruk, tak jarang membelikan Jeano barang-barang yang ia inginkan.

Bintang tidak pernah membedakan Jeano dan Nael, meski jelas Nael adalah putra kandungnya. Sedangkan Jeano hanyalah putra tetangga sekaligus sahabatnya.

Kediaman keluarga Lazuardi dan Mahendra memang berdekatan sejak dulu. Dimas dan Bintang juga memang sudah bersahabat sejak mereka belum menikah.

Maka, tidak heran Nael dan Jeano juga begitu dekat hingga sebesar sekarang. Nael yang tidak bisa jauh dari rumah dan 3 kucingnya, bahkan rela ikut tinggal di asrama bersama Jeano.

"Oh iya, Bun. Aku lupa!" Jeano muncul lagi di ambang pintu dapur.

Membuyarkan lamunan Leticia tentang seberapa baiknya keluarga Nael.

"Kemarin Nael titip ini buat Bunda," ucap Jeano sambil menyerahkan sekotak kecil berwarna hijau.

"Loh, Nael dapet darimana?!" tanya Leticia terkejut begitu menyadari barang di tangannya.

"Minggu lalu Nael ada kegiatan relawan di panti daerah perkebunan teh itu. Jadi katanya sekalian beliin Bunda," jelas Jeano yang membuat Leticia tersenyum senang.

Ini teh hijau tradisional yang Leticia inginkan sejak lama. Namun, produksinya terbatas dan sangat sulit mendapatkannya. Siapa sangka Nael akan membelinya langsung di tempat produksi teh tersebut.

Terlebih lagi, bagaimana bisa Nael tahu bahwa dia menginginkan ini sejak lama?

°°°☆☆☆°°°

7llin' in Our YouthWhere stories live. Discover now