21. Sick

4.2K 473 139
                                    

Chelsea merasakan ada seseorang yang menyentuh kulit pipinya. Kedua mata yang sedari tadi tertutup pun kini terbuka perlahan. Rasanya berat sekali untuk membuka mata, namun ia paksakan untuk terbuka. Hingga sayu-sayu ia melihat wajah seseorang yang sedang menatapnya dengan jarak yang sangat dekat. Meskipun pandangannya belum terlalu jelas, ia tentu tahu siapa pemilik wajah itu.

"Jer."

"Kenapa? Pusing? Gue udah panggil dokter,ㅡ"

"Jer."

"Ya?"

"Jer."

"Apa? Lo kenapa?"

Raut wajah Jerome seketika berubah semakin panik.

"Gue gak papa. Lo gak kerja?"

Chelsea berusaha memberikan senyum, meskipun itu hanya senyuman tipis. Ia hanya tidak mau Jerome terlalu khawatir padanya. Chelsea tahu bahwa hari ini Jerome ada rapat yang harus dihadiri, maka dari itu semalaman suaminya itu lembur sampai larut malam.

Meskipun sejujurnya Chelsea butuh Jerome untuk menemaninya yang sedang tidak enak badan hari ini. Tapi menurutnya pekerjaan lebih penting, lagi pula Chelsea bisa meminta Bunga untuk menemaninya di sini. Bunga kan pengangguran, pasti akan selalu siap sedia.

"Kalau gue kerja, yang ngurus lo siapa?" Jerome kembali menempelkan kompres dingin ke dahi Chelsea.

"Gue bisa minta Bunga nemenin gue. Dia available 24 jam nonstop kok. Lo pergi kerja aja, kan ada rapat penting hari ini?"

Jerome terdiam sesaat, mungkin lelaki itu sedang menimbang-nimbang perkataan Chelsea. Memang benar, hari ini ada rapat penting yang harus dihadiri.

"Serius, Jer. Gue telpon Bunga sekarang, dia pasti bakal dateng. Lo bisa pergi kerja."

Akhirnya Jerome berdiri dari duduknya, mengeluarkan sebuah ponsel dan menempelkannya ditelinga. Dapat Chelsea dengar Jerome menghubungi Julian, suaminya itu meminta untuk rapat diundurkan satu jam dan juga berpesan pada Julian untuk meminta Bunga datang ke apartemennya.

"Gue udah minta Julian hubungi Bunga."

"Iya. Makasih."

"Dokter sebentar lagi datang. Gue pergi kalau lo udah di cek dokter."

"Iya."

"Ya."

"Maaf ya, Jer."

Seketika Jerome mengurungkan niat untuk melangkah pergi setelah mendengar suara lemah Chelsea.

"Gue ngerepotin ya?" Lanjut Chelsea lagi, dan langsung mendapat anggukan Jerome.

"Iya."

"Maaf."

"Makanya jangan sakit." 

Chelsea hanya menyunggingkan senyum tipis dan kemudian Jerome pun melangkah pergi dari kamarnya untuk bersiap kerja.

Ada sebersit perasaan senang ketika ia mendapat perlakuan hangat Jerome. Siapa sangka, lelaki yang awalnya Chelsea kira seperti patung es itu ternyata punya sisi hangat tersendiri. Meskipun Chelsea tahu, gengsi selalu menutupi sikap peduli Jerome padanya. Tapi, Chelsea selalu tertarik untuk tersenyum ketika melihat sikap Jerome itu. Lucu, menurutnya.

Suara ketukan pintu dari luar terdengar, lalu pelan-pelan terbuka menampilkan Jerome yang sudah rapi dengan kemejanya. Jerome tidak sendiri, melainkan bersama seorang dokter yang Chelsea juga sudah mengenalnya. Pernah sekali ia bertemu dengan dokter Theresia saat pernikahaannya. Beliau adalah dokter pribadi keluarga Hadinata.

Perfect Strangers (✔)Where stories live. Discover now