15. Loser

3.5K 465 47
                                    

Mungkin bukan terlambat. Mungkin memang tidak berani memulai saja. Lalu membuat alasan terlambat.

ㅡ Fiersa Besari


**

Bara sedikit menarik dasi berwarna hitamnya. Bermaksud mengendorkan dasi yang terasa mencekik lehernya itu. Tak puas dengan itu, ia menarik dasinya lagi hingga melepas kancing kemeja putih bagian teratas. Namun, tetap saja ia masih merasa sesak. Sulit untuk mengambil udara segar, meskipun sekarang ia berada di sebuah taman yang penuh dengan tanaman dan beberapa pohon rindang.

Lelaki jangkung itu mengedarkan pandangannya ke sekitar. Tempat ini penuh dengan pebisnis dan juga beberapa pejabat di negeri ini. Termasuk Papa dan Mamanya di sana, bercengkeramah dengan para pesaing perusahaannya. Mereka semua sama saja, di depan saling melempar senyum, namun di belakang saling menjatuhkan demi keuntungan perusahaan masing-masing.

Ini sudah kelima belas menit Bara hanya berdiri di pojokan taman luas yang sudah disulap menjadi apik dengan altar di depan sana.

Sendiri, melamun, merasa sesak di keramaian itu.

Sempat menolak untuk tidak akan pergi ke pernikahan Chelsea dan Jerome, namun Bara akhirnya menyerah karena paksaan sang Papa. Meskipun di sini ia hanya menyendiri, menjauhkan dirinya dari keramaian. Yang terpenting, ia sudah datang ke sini sesuai permintaan Papanya, dan juga sudah menampakkan batang hidungnya untuk mengucapkan selamat kepada Pramana, ㅡAyah Chelsea.

Bara membuang napas berat untuk kesekian kalinya ketika kedua matanya menangkap beberapa foto prewedding Chelsea dan Jerome. Tak berniat memandang foto itu berlama-lama, ia melarikan pandangannya lagi ke segala arah. Tangan kanannya kembali menarik dasi yang dipakainya hingga sudah tak rapi lagi. Rasanya udara semakin sesak.

Sudah. Menyerah. Bara harus menyeret kakinya untuk segera pergi dari sini sebelum ia mati kehabisan napas.

Saat memastikan bahwa kedua orangtuanya telah duduk nyaman di deretan kursi tamu, ia menggerakkan kakinya untuk keluar dari tempat itu. Namun baru beberapa langkah, Bara mendadak menghentikan kakinya.

"Apa kabar lo, Barata Wardhana?"

Bara melihat seseorang yang baru saja menyapanya itu. Tentu saja Bara mengenalnya. Edoardo Pranaja, teman sekolahnya dulu sekaligus sahabat musuh bebuyutannya, ㅡJerome.

"Baik." Jawab Bara dengan wajah datarnya.

Edo berjalan mendekat dengan kedua tangan diselipkan di saku celana. "Gue kira lo gak akan datang ke sini."

"Gue datang bukan buat Jerome, tapi buat Chelsea."

"Nah justru itu!"

Bara mengerutkan keningnya. "Maksud lo apa?"

"Mungkin memang lo gak pernah bilang ke orang sekitar tentang perasaan lo itu. Tapi gue tahu, Bar."

Bara tertawa sumbang. "Tahu apa?"

"Lo suka Chelsea."

Edo mengucapkannya penuh percaya diri bahwa apa yang dikatakannya itu benar. Dan reaksi Bara sekarang adalah mengelak sekeras mungkin.

"Jangan sok tahu! Bukannya lo yang suka Chelsea?"

Edo terkekeh sambil mengangguk pelan. "Iya dulu gue suka. Tapi sayangnya dia gak pernah ngelihat gue. Karena Chelsea hanya ngelihat elo dimatanya, Baratha Wardhana yang brengsek."

Bara semakin tidak suka dengan pembicaraannya bersama Edo. Ia mulai menyingkir tapi Edo menghentikan langkahnya lagi.

"Gue tebak, sekarang pasti lo menyesal?"

Perfect Strangers (✔)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang