Katakanlah aku terlalu berpikiran buruk. Aku lebih memilih mati karena kelaparan ketimbang mati tak wajar akibat keracunan.

"Shireo?" tanyanya dengan alis terangkat. Tangannya yang memegang mangkuk masih terarah padaku, namun tak ada lagi senyum di bibirnya. Ia menatapku dingin. "Aku bersumpah tidak memasukkan racun ke dalam bubur ini. Aku harus apa supaya kau percaya?" (Tidak mau?)

"Kau tidak perlu melakukan apa-apa, karena sampai kapan pun aku tidak akan pernah menaruh kepercayaan kepada kriminal sepertimu," ucapku tanpa melihat ke arahnya. Tatapanku lurus ke depan, tak ingin merasa terintimidasi dengan caranya memandangku saat ini.

"Baiklah. Karena ini yang kau mau, maka aku akan membiarkan kelaparan."

PRAANGGG

Napasku tercekat ketika sedetik kemudian suara itu menggema nyaring mengisi ruangan. Aku melihat ke arah samping, menemukan mangkuk tadi sudah terpecah belah akibat menghantam lantai dengan isi berceceran ke mana-mana, bahkan sampai terciprat ke dinding. Kusadari wajahnya merah padam usai melempar mangkuk itu penuh emosi. Aku lantas menunduk. Tanganku diam-diam meremas seprai, menyalurkan rasa takutku dengan cara itu.

"Aku susah payah menyiapkannya untukmu. Kenapa kau tak pernah sekali saja menghargai usahaku?!"

Mataku refleks terpejam rapat ketika satu tangannya bergerak meraih daguku untuk melihat ke arahnya. Jemarinya sempat mencengkram kuat rahangku, sebelum akhirnya ia melepaskannya dengan gerakan kasar.

Lelaki itu beralih mengambil pisau di atas nampan ketika aku membuka mata dan menoleh. Kupikir ia akan mengarahkan pisau itu ke arahku, tapi ternyata ia menggunakannya untuk mengupas kulit apel.

"Wae? Apa kau takut pisau ini akan berakhir menggores lalu menembus kulitmu?" tanyanya tanpa mengalihkan fokus pada pisau di tangannya yang bergerak memutar pada permukaan apel. Ia tersenyum miring, yang mana semakin memunculkan pikiran-pikiran liarku bahwa lelaki yang kuhadapi ini benar-benar seorang psikopat. "Sayangnya aku punya prinsip tidak akan melukai dan menyakiti gadis yang kusuka. Jadi, tenang saja."

BRAAKKK

Entah untuk ke berapa kalinya, napasku kembali tercekat. Suara seperti sesuatu yang ditendang kuat kemudian berdebum keras itu bukan berasal dari lelaki J—ia masih asyik mengupas apel—melainkan berasal dari arah luar. Suaranya terdengar jauh, mungkin sumbernya dari ruangan yang letaknya cukup jauh dari kamar ini atau dari lantai bawah.

Aku memperhatikan gerak-geriknya. Ia nampak tersentak sama sepertiku. Lalu entah memang begitu atau hanya perasaanku saja, aku menemukan ekspresi antusias di wajahnya.

"Sepertinya kita kedatangan tamu."

Belum sempat aku berpikir kemungkinan apa yang menyebabkan timbulnya suara tadi dan mencari tahu alasan dibalik ekspresi antusias yang lelaki itu tunjukkan, telingaku menangkap samar-samar suara seseorang meneriakkan namaku. Meski tak terlalu jelas, aku yakin aku mengenali suara itu.

Mingyu.

Itu suara Mingyu.

Dia datang menyelamatkanku.

Detik itu juga aku turun dari ranjang dan berlari menuju pintu sambil menggumamkan nama Mingyu berulang kali. Pintu berhasil kubuka. Di luar kamar yang mengurungku selama berjam-jam, aku menemukan lorong tak terlalu lebar dengan pembatas kayu setinggi dada—semacam balkon namun bedanya ini di dalam ruangan. Bisa kulihat pijakan tangga menurun di ujung sana. Beberapa meter lagi melangkah maka aku akan mencapai tangga itu.

Suara Mingyu yang masih meneriakkan namaku terdengar semakin jelas, membuat rasa rinduku semakin membuncah. Aku ingin segera melihatnya.

Kupikir setelah menuruni anak tangga aku bisa menemukan Mingyu lalu menjatuhkan tubuhku ke dalam pelukannya, namun aku lupa satu hal.

WHY YOU? || KIM MINGYUWhere stories live. Discover now