Chapter 12

17 8 0
                                    

"Yauda buat apalagi kita disini, mending balik aja uda ketahuan juga kan siapa penyebab kematian Revan" sahutku.

Aku melepaskan genggaman tangan Affan dan melengos menuju tenda untuk mengemas barang-barangku.

"Enggak ini belum selesai Rin" ucap Anto yang datang menghampiri.

"Apanya yang belum To?" Sahutku dengan tangan yang masih sibuk merapikan barang.

"Kasus ini memang udah selesai, tapi ada hal lain juga" ucap Anto.

"Gue gak peduli" jawabku ketus.

"Ikut gue!" Ucap Anto.

Tanpa izin, Anto menggandeng tanganku dan menuruni jalan menjaub dari tempat camping. Langkah kaki Anto terus berjalan tanpa henti, sepanjang itu juga Anto berhenti mengucapkan sepatah kata pun.

Affan mengikutiku yang mulai menjauh, dia bahkan sampai berlari agar bisa menghentikan Anto. Bugh! Affan berhasil meraih Anto dan memukul pipinya hingga mengeluarkan darah segar. Anto hanya diam dan membersihkan darah yang keluar dari sudut bibirnya.

Tak ada tatapan dendam pada mata Anto. Aku hanya diam daripada mencari masalah untuk membela Anto, sungguh Anto sedikit aneh setelah kejadian tadi.

Anto memberikan senyum, persis seperti senyum yang pernah aku lihat dan aku kagumi. Senyuman tulus milik Revan dan tatapan teduhnya. "Gue Revan bukan Anto" ucapnya.

"Bagaimana mungkin?" Ucap Affan.  Nafasnya mulai normal dan emosinya mereda tak lagi mendidih seperti sebelumnya. Menggenggam tanganku erat-erat dan menjauhkan dari Anto.

Badan Anto terhuyung seperti ada sesuatu yang telah keluar dari tubuhnya. Anto langsung tersungkur ke tanah dan untung saja dia tidak jatuh ke jurang. Karena Anto membawaku ke tanah lapang yang di sisi kanan, kiri dan belakang ada jurang yang cukup dalam.

Affan langsung duduk dan berusaha menyadarkan Anto, mengambil minyak kayu putih dari dalam sakunya dan mendekatkan ke hidung Anto agar ia dapat mencium aromanya.

Aku berjalan ke depan, dimana tempat Revan menghilang. Mendekat dan semakin dekat dengan jurang.

Deg.

Deg.

Deg.

Deg.

Kaki ku terperosok karena salah pijakan. Aku menutup mata rapat-rapat, ku kira benar aku akan jatuh dan entahlah mungkin aku sudah kehilangan nyawa jika saja sepersekian detik Affan tidak menarik tanganku. "Affan" ucapku sambil menelan ludah kasar.

Plakk! Affan menamparku. Tidak terlalu keras namun cukup membuat rasa panas di pipi kiri ku. Ku pegangin pipi yang telah di tampar oleh Affan. Ku toleh Anto yang masih terbaring di tanah namun sudah sadar karena ia memanggil nama Affan.

"LO GILA, LO KIRA LO BISA MAIN MAIN SAMA NYAWA LO HAH? BISA NGGAK SIH LO TUH MIKIR PAKEK OTAK LO, SEKALI AJA JANGAN HALU. EMANG LO SIAPA BERANI MAIN-MAIN SAMA NYAWA LO. INGET LO ITU UDAH GEDE HARUSNYA NGERTI ITU BAHAYA" bentak Affan yang emosinya tersulut kembali.

Air mataku mulai menetes, ku gigit bibir bagian bawah karena lidahku kelu untuk sekedar mengucapkan kata maaf. Aku memang salah tapi haruskah Affan semarah itu. Tak cukup tamparan di wajahku yang menjadi hukuman, sekarang dadaku pun terasa sesak. Seakan semua perasaan yang pelan-pelan aku tumbuhkan untuk Affan telah rapuh seketika dan menjadi remahan-remahan kecil. Duniaku hancur dalam sekejap mata.

Anto mulai duduk dan pelan mencoba untuk berdiri. Mendekat ke arahku yang terdiam dalam isakan. "Lo gila? Airin cewek lo. Lo tega kasar sama cewek" ucap Anto.

Tanpa segan Anto langsung menarikku menjauh dari Affan yang kepalanya sedang mendidih. Mungkin Anto tidak tega denganku, membawaku kembali ke tenda dan meninggalkan Affan sendirian.

Air mataku tak berhenti mengalir dari pelupuk mataku membuat mataku sembab dan sedikit bengkak. Anto mengajakku duduk dan mengambilkan air minum untukku. "Kalo nanti Affan jadi benci sama lo gimana To?" Ucapku.

"Gue uda biasa kok itu makanan sehari-hari di sekolah, tukang palak kan selalu jadi omongan dan di benci" ucap Anto dengan santai.

Sementara Dira dan Nando masih duduk di posisi semula dimana kami bertengkar tadi. Seperti sedang mendiskusikan sesuatu, entah apa lagi yang akan Dira rencanakan. Aku kira Dira adalah sahabat yang baik bahkan ku anggap saudara sendiri.

Bahkan ternyata dia juga menyukai Revan diam-diam. Jika saja aku tahu dari awal, aku akan mundur jika akhirnya Revan akan meninggal akibat Dira. Seperti daun yang tertiup angin, dalam sekejap saja bisa gugur.

Aku terdiam dengan pandangan yang kosong, duduk dengan memeluk kedua lututku memikirkan sesuatu yang baru saja terjadi. Persahabatan hancur, begitu juga Affan yang entah mengapa berubah menjadi pemarah dan kasar.

"Maaf Rin" ucap Affan yang baru duduk di dekatku.

"Iya gue gila dan udah gila karena HALU" ucapku.

Dengan sengaja Anto berdiri dan memberi waktu untukku dan Affan. Air mataku mengalir semakin deras, menetes ke baju yang aku pakai. Sungguh aku seperti anak kecil yang menangis karena ingin di belikan es krim.

Namun sayang, aku sudah dewasa dan tak lagi menangis untuk sekedar minta di belikan es krim. Affan merangkulkan tangannya pada bahuku dan memelukku.

"Maaf Rin, aku tadi gak sengaja. Aku emosi, aku uda janji sama ayah kamu kalo aku bakal jagain kamu dan mastiin kamu gak akan lecet. Aku kayak gitu biar kamu bisa tegas sama diri kamu sendiri" lirih Affan.

"Tegas kamu bilang? Orang yang gak bisa nahan emosinya dan nampar cewek, posisinya lebih rendah daripada HALU" sahutku.

"Iya aku minta maaf sayang" lirih Affan.

•••

Pagi telah pergi, mentari tak bersinar lagi. Langit mulai gelap ditambah suasana yang tak begitu menyenangkan padahal hari ini adalah sabtu malam minggu.

Sebenarnya aku memutuskan untuk pulang, tetapi Anto bersikekeh untuk tetap disini dan pulang besok seperti yang sudah direncanakan. Anto berkata akan ada sebuah kejutan besok pagi, itulah alasan kami semua sekarang berada di atas tanah lapang tempat berdirinya tenda.

Aku dan Dira saling menghindar, padahal aku sama sekali tidak ingin terjadi perang dingin dan saling mengacuhkan. Nando dengan jelas berpihak pada Dira karena ia sangat menyayangi saudara kembarnya tersebut.

Sementara aku lebih memilih berbicara dengan Anto dari pada Affan. Aku masih sangat kecewa dengan tamparan yang berikan Affan tadi siang. Anto dan aku duduk diatas tikar sambil sesekali menertawai Anto yang salah kunci saat menggerakkan jarinya di senar gitar.

Affan duduk sendirian di balik tenda cowok dan merenung memeluk kedua lututnya. Wajahnya berubah menjadi sayu dan seperti memendam emosi yang mendalam.

Dira dan Nando duduk tak jauh dari jurang dan melihat keatas langit memandangi bintang sambil membicarakan hal kecil. Menyantap beberapa makanan ringan yang dibawa dari rumahnya.

Jangan lupa vote commentnya 😚💕

Salam santuy.

Send(u) ✔Where stories live. Discover now