Chapter 1 - (Revisi)

51.5K 2.4K 20
                                    


Sesekali, aku  mengecek jam tangan hitam yang melingkar manis di tanganku, sembari menggerak-gerakkan kakiku di atas mobil, melihat jam yang semakin mepet. Hari ini, adalah hari terakhir porseni. Dimana, artinya hari ini akan menjadi acara penutupan dan semua murid diharuskan hadir tanpa ada pengeculian.

Dan, hal yang paling menyebalkan yang aku hadapi adalah, tidak peduli sekolah itu ada acara atau tidak. Jam masuk tetaplah sama, bahkan tanpa toleransi.

"Ugh!" gerutuku kesal, karena mobilku harus terjebak diantara mobil-mobil lain yang ikut terjebak dengan lampu merah.

"Pak, saya turun disini aja ya." ujarnya pada Pak Tarno. Supir yang sudah bekerja pada orangtuku semenjak aku masih SD.

"Tapi, itu tinggal belok. Nyampe deh." Pak Tarno menunjuk ke arah yang ia maksud.

Aku mengiggit kecil bibir bawahku."Gak papa, Pak. Tere, turun disini aja. Nanti, Tere telfon Pak Tarno ya, pas pulang sekolah."

Pak Tarno menatapku dengan ragu, tampak  tidak tega membiarkanku harus berlarian ke sekolah.

"Udah ya pak, pamit dulu." ujarku, lalu bergegas membuka pintu mobil.

"Hati-hati, Neng!" teriak Pak Tarno yang hanya di dengar olehku, setelah menutup pintu mobil. Sembari melambai, aku melangkah hati-hati ke atas trotoar jalan.

Aku kembali mengecek jam tangan milikku. "Shit!" umpatku sembari  berlari, berbelok ke arah sekolah.

Begitu aku sampai, pintu gerbang sudah di tutup setengah, dan dengan cepat aku berlari masuk ke dalam, menyatu dengan anak-anak yang berlarian memakai seragam olahraga. Dengan sigap, kemudian aku mengarahkan langkahku naik ke atas, mendapati koridor kelas 2&3 yang begitu ramai.

"Psst!"

Aku menoleh.

"Eh, Naufan."

Naufan yang sedang menyandar di dekat tiang koridor berjalan menghampiriku. "Habis lari pagi ya?" tanyanya, sambil menampilkan senyuman lebar yang terlihat seperti menyengir.

Aku menghapus jejak keringat di sekitar kening dan pelipisku. "Hampir telat,"

"Kalau telat, gue pecat jadi sekretaris gue."

Aku mengangkat kedua tanganku ke atas. "Eits, ampun ketos."

Naufan tertawa, sambil mengacak pelan puncak kepalaku.

"Ya udah ke kelas, gih." ujarnya sambil mengangkat kepalanya, menunjuk ke arah kelas IPA 3 yang sedang terbuka lebar.

"Ay! Ay Captain!" Aku memberi hormat dan berlalu pergi setelah itu.

Bunyi suara gebrakan meja, terdengar begitu aku melangkah masuk ke dalam kelas. Dan, tepat saja saat itu, Disa dengan wajah geramnya sedang menunjuk ke arah Dito. Yep, Disa dan Dito. Dua makhluk yang terlahir di dalam satu planet bernama Bumi, dan kemudian bertemu di satu sekolah. Tapi, sayangnya saat mereka bertemu, mereka layaknya air dan api yang tidak akan pernah bersatu.

Siapapun yang selalu sekelas dengan mereka, atau bahkan pernah sekelas dengan mereka, akan terbiasa dengan yang baru saja aku lihat di pagi hari.Bagaikan sinetron yang tiap hari tayang, sampai beratus-ratus episode. Begitu lah mereka, tapi bedanya tak ada yang pernah tahu ending dari cerita mereka akan seperti apa.

"Gua balas lo, ntar!" pekik Disa begitu Dito berhasil keluar dari kelas, dengan tawa yang menghiasi wajahnya. Setidaknya itu yang aku lihat.

Aku melangkah ke arah Disa, duduk dikursinya yang kebetulan bersebelahan denganku. "Udah, biarin aja. Dito, kan gitu."

Flip FlopTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang