SEBELAS - REVISE

Mulai dari awal
                                    

Tapi, bukan dukungan dan Iba yang ia dapatkan. Sebaliknya, sorot mata tajam dan dingin ia dapatkan dari lingkungan sekitar. Petugas dari departement sosial selalu mengajaknya ikut bergabung untuk bersenang - senang bersama dengan para korban pencabulan. Bully-an mulai ia dapatkan mulai dari 'teman yang tidak setia kawan' karena ia kabur seorang diri tanpa Maya disampingnya. 

'penyebab kematian Maya' karena dirinyalah yang mengajak Maya untuk mampir ke sebuah toko bunga yang ada di seberang sekolah dan bukannya langsung kembali ke rumah. Hingga seorang pria berusia empat puluh tahunan merayu mereka akan menunjukkan kebun bunga yang lebih indah dari sekedar penjual bunga di tepi jalan itu. 

Rinai yang begitu menyukai keindahan tanaman pun terbujuk, ia mengajak Maya serta bersamanya! 

'Anak korban cabul' ejekan itulah yang seringkali ia dapatkan dari teman-temannya dirumah maupun disekolah. Para orang tua tetangga melarangnya berteman dengan anak anak mereka, sorot mata mereka seolah melihatnya dengan jijik dan takut! Takut akan bernasib seperti Maya. 

Hal yang lebih naas lagi adalah, adanya oknum guru pria yang malah sesekali berbuat lancang kepadanya dengan sesekali menyentuh buah dadanya yang bahkan baru akan tumbuh itu. Rinai, menyerah dan memutuskan berhenti sekolah hingga akhirnya Ibu dan Bapak memindahkannya ke sekolah baru. 

"Mas,," panggilnya, begitu mereka sampai di rumah. 

"Hmmm,,," gumam Pram tanpa menoleh. Membuat hati Rinai terluka, 

"Jika kamu menyesal dengan pernikahan ini, tolong jangan salahkan aku, Mas yang memintanya." 

Pram, menghentikan langkahnya dan menoleh kepada wanita itu. Sebenarnya ia merasa Iba, ia tidak pernah mengerti mengapa anak-anak selalu saja menjadi korban orang dewasa. "Apa aku bilang padamu bahwa aku menyesal menikah denganmu setelah apa yang kudengar barusan dari Bagas? Aku bilang seperti itu?" 

Rinai menggeleng, menunduk lemah "Tapi sikapmu berbeda dari biasanya," 

Pram, menjatuhkan dirinya di sofa dengan lelah "Aku hanya tidak tahu harus berbuat apa, Rin, tiba-tiba kabar ini seolah menghantam keras kepalaku. Usiaku menginjak 38 tahun dalam 5 bulan lagi, dan aku sangat berharap mendapatkan kehadiran seorang anak diantara kita. Aku tidak semuda yang kamu bayangkan, untuk menunggumu,---" kata-katanya terhenti. Rinai paham maksudnya, wajah Rinai memerah dan terlihat sedih. 

Pram, tidak suka pada wanita yang terlalu sering bersikap cengeng sepertinya. Ia pun bangkit dan berjalan ke luar. Ia butuh menenangkan fikirannya saat ini dan menjauh dari wanita itu adalah jalan yang terbaik!

Hingga malam menjelang ia tetap tidak kembali, Pram, larut pada pikirannya sendiri harus menunggu hingga berapa lama sampai wanita itu pulih total. Sedangkan ia sudah menjalani pengobatan sejak lama dan hasilnya tetap seperti ini. Ponselnya bergetar, Pram, membuang putung rokoknya ke bawah dan menginjaknya hingga mati. Rinai, menelponnya. 

"Mas,,,," suaranya bergetar. 

"Pram,,,, " wanita itu memanggil namanya dengan jelas, tidak biasanya. 

"Ada apa?" 

"Disini mati lampu dan,--"

"Demi Tuhan Rin, haruskah kamu menelponku hanya karena hal sepele seperti,,-" dan detik berikutnya ia mengutuk dirinya sendiri. Rinai, menjadi sangat fobia terhadap kegelapan dan ia tahu alasan dibalik itu semua siang tadi. 

"Tunggu aku, aku akan segera kembali. Duduklah di teras depan rumah, cari penerangan dan tetap kendalikan dirimu." dalam pikirannya ia takut Rinai kembali mengalami Hiperventilasi, komplek rumah tidak ramai seperti rumahnya dulu di Bantul, ia khawatir istrinya justru tidak sadarkan diri dalam keadaan sulit bernafas. Pram segera meraih kunci mobil dan melaju pulang. 

Rinai, duduk meringkuk di teras depan rumah sambil terus menyalakan lampu handphonenya. Pram, berlari melihat kondisi wanita itu yang sepertinya terlihat baik-baik saja. Ia berlari ke dalam, mencari lampu darurat dan menyalakannya hingga teras depan terlihat terang. Pram, kembali mendekat ke arah Rinai, tangannya gemetar dan dingin. Tubuhnya terus saja bergoyang-goyang tanpa sadar. 

"Pria itu,,, priaaa itu,,, memperkosa May di,, depan mataku." Rinai meracau, Pram coba menyentuh bahunya. Kini kepalanya yang mulai bergerak menggeleng-geleng. Sepertinya sebentar lagi ia membutuhkan bantuan Bagas kembali, Pram sudah bersiap menyalakan ponselnya. 

Rinai, mulai terisak perlahan, tangisannya pelan namun menusuk hati Pram "Aku kabur seorang diri,, aku meninggalkan May disana," Rinai terisak semakin kencang "Ia menatapku dengan tatapan kosong, kukatakan padanya bahwa aku akan kembali dan mencari bantuan, tapi....., tapi,,,, " 

"Sssstt, sudahlah tidak perlu diceritakan. Sudah,, " Pram menepuk bahu Rinai pelan, mencoba mengikis jarak diantara mereka. "Kedua tangan dan kaki kami terikat, seluruh tubuhku lebam-lebam karena terjatuh beberapa kali saat melarikan diri, aku,.. aku hanya tidak ingin ia memperkosaku seperti ia melakukkanya kepada May berulang kali." Kini ia berteriak histeris, menyayat-nyayat hati Pram yang beku. Pram, membawanya ke dalam pelukan dan memeluknya erat. 

"Tenangkan dirimu, ingat untuk bernafas perlahan... semua sudah berlalu Rin,"

Rinai menghempaskan tubuh Pram hingga terlepas, "Bukankah aku juga korban? Bukankah aku juga terluka meski tidak harus mati dan mengalami hal yang sama seperti May, tapi kenapa mereka menyalahkanku dan membuat hidupku seperti ini? May mungkin mati sejak dulu, tapi bukankah aku juga mati dengan keadaanku yang begini." 

Pram mengetik pesan dengan cepat dan mengirim kepada Bagas agar pria itu datang dan membawa suntikan penenang. 

"Apa yang kamu lakukan sudah benar, dengan berlari kabur dan meminta bantuan adalah sudah benar. Jadi, kumohon untuk tenanglah dan berhenti menyalahkan dirimu sendiri." Hardik Pram, berharap wanita itu sadar atas mentalnya yang mulai tidak stabil. 

Rinai berdiri, menarik rambutnya dengan sebelah tangan "Kenapa kalian para dewasa melakukan hal itu kepada anak kecil, kenapaaaa?" teriakannya membuat Pram mau tidak mau berhambur dan mendekap wanita itu ke dalam pelukannya. Sekuat apapun Rinai meronta, tenaga Pram jauh lebih kuat hingga akhirnya wanita itu tidak sadarkan diri. 

Rinai, terjatuh lunglai ke bawah dalam dekapan Pram. Dalam penerangan lampur darurat wajah penuh airmata Rinai bahkan masih terlihat mempesona dimatanya. Ia tidak tahu sejak kapan jantungnya berdebar melihat Rinai seperti itu, sejak kapan emosinya terpancing mendengar cerita mengerikan itu dari mulutnya langsung. 

Tanpa sadar, Pram mendaratkan kecupan di kening Rinai dan memeluk tubuhnya, berharap Bagas dapat segera sampai dan menolong wanita malang ini. 


-----Bersambung-----




SEKEPING HATI UNTUK, RINAI. -- Sudah Terbit versi ebook Playstore. Link Di BioTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang