Namun dengan tegas, Delia menggelengkan kepalanya. Sebenarnya sudah dua hari Delia sakit. Sejak saat itu dia sama sekali tidak mau makan apalagi meminum obatnya. Hari ini wajahnya semakin pucat karena hal itu.

"kalau begitu saya permisi Nyonya, Mas, Non." ucapku undur diri.

"iya Mba, nanti Mba Fiza kesini lagi kan Mba?" tanya Delia.

Walaupun dalam keadaan sakit, Delia masih bisa bercerita tentang banyak hal. Setiap hari ia selalu memintaku untuk mendengarkan ceritanya yang didominasi tentang kakak pertamanya itu, Devin. Dari cerita Delia aku menyimpulkan bahwa putra pertama Bu Sandra itu juga sangat menyayangi Delia.

Delia pernah bercerita padaku bahwa beberapa kali, kakaknya itu pernah menjemputnya di sekolah lalu mengajaknya jalan-jalan. Tapi yang aku heran, kakaknya itu melarang Delia untuk mengatakan pada siapapun tentang hal itu. Delia menuruti apa perkataan kakaknya itu namun ia tetap bercerita padaku untuk berbagi kebahagiaannya. Dan beberapa minggu ini kakaknya itu tidak menemuinya. Delia menceritakan itu padaku sebelum dia sakit. Dia mengatakan padaku kalau ini termasuk waktu yang paling lama kakaknya tidak menemuinya.

"iya Non, saya permisi ya." jawabku. Semua orang pun mengiyakannya.

"gimana keadaannya Non Delia?" tanya Bibi setelah aku masuk ke dapur.

"masih belum mau makan Bi. Masih nyebut-nyebut kakaknya itu. Lagian kenapa sih Bi kakaknya itu gak mau ke sini? Kan kasian Non Delia." ucapku gemas sendiri.

"ceritanya panjang Za." jawab Bibi.

Selalu jawaban itu yang akan keluar dari lisan Bibi. Bibi Iroh sebenarnya sudah bekerja puluhan tahun di sini. Oleh karena itu, ia pasti tahu keadaan keluarga ini sejak dulu. Tapi Bi Iroh selalu menjawab demikian ketika aku bertanya.

"udah-udah, kamu buatin teh buat Mas Derrel sana. Keburu mau berangkat dia." ucap Bibi.

"iya Bi." jawabku.

Akupun segera melaksanakan perintah Bi Iroh. Biasanya Mas Derrel memang meminum teh terlebih dahulu sebelum berangkat ke kantor. Dan Bibi yang biasanya membuatkan karena pada biasanya, aku sudah berangkat ke kampus. Tapi beberapa hari ini, aku mengambil alih pekerjaan Bibi itu.

Setelah selesai membuat tehnya aku segera menuju ke tempat Mas Derrel berada. Sepertinya dia sedang ingin menelpon seseorang.

"Dev, gue gak mau tau dan gak mau denger alasan apapun. Sekarang lo ke sini dan gak pake lama!" ucap Mas Derrel dengan nada cukup tinggi.

"Delia sakit." lanjut Mas Derrel lagi setelah ada jawaban dari telepon itu yang sudah pasti aku tidak mendengarnya.

Astaughfirrullah, aku baru sadar kalau aku tidak sengaja menguping.

"maaf Mas, ini tehnya." ucapku setelah Mas Derrel mematikan teleponnya.

"oh iya Fiz, makasih. Taruh situ aja." jawabnya.

Mas Derrel adalah putra kedua Bu Sandra. Dia juga lelaki yang baik, sama seperti Bu Sandra dan Delia yang tidak pernah memandang seseorang dari status sosialnya. Mas Derrel juga yang membantuku untuk mendaftar ke sebuah universitas.

"permisi Mas." ucapku setelah meletakkan cangkir teh ke atas meja.

"ya." jawabnya.

¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤¤

"Ma.. Mama.. " teriak seseorang sampai terdengar ke dapur. Entah suara siapa itu. Tapi suara itu asing di telingaku.

"mana Delia Ma?" tanya orang itu.

Sekarang aku mulai bisa melihat siapa yang datang walaupun hanya punggungnya saja. Sepertinya dia putra pertama Bu Sandra.

Hafiza (END-COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang