04

500 106 19
                                    


Sudikah dirimu untuk kenali aku dulu
Sebelum kau lukai aku, sebelum kau robek hatiku
Aku bisa membuatmu jatuh cinta kepadaku meski kau tak cinta
.
.
.
.
.
.
.
.

Nyaris tiga bulan belakangan ini ritme seorang Nattaya Adhisty agaknya mulai sama dengan apa yang selama ini ia idam - idamkan. Menjadi seorang lulusan desain grafis yang bisa bekerja dan mencurahkan ilmu empat tahun di bangku kuliah dengan sepenuhnya. Begitu juga dengan jam delapan pagi hingga jam lima atau bahkan lebih, enam hari dalam seminggu di balik meja besar dengan berbagai peralatan gambar berikut komputer grafisnya. Lalu jika banyak orang berpendapat ritme yang seperti itu sangatlah monoton dan rawan stres, Atta berkesimpulan orang itu bekerja karena butuh penghidupan, bukan berkerja karena pekerjaan itu adalah bagian hidupnya. Sebut saja itu passion, sesuatu yang kadang diperjuangkan manusia sampai harus berdarah-darah.

Atta kembali memulai paginya hari ini dengan menyalakan mesin si vespa hijau sebelum bersiap ke kantor. Selang satu minggu sejak ia mulai bekerja di Adpro, si hijau pun ikut menemani setiap hari. Baru beberapa hari dibawa kekantor saja vespa hijau warisan Adrian itu langsung ada penggemarnya, bahkan sampai langsung ditawar. Jujur Atta mau - mau saja. Bukankah lebih bagus kalau si hijau yang sudah lumayan tua itu bisa dijual seharga motor matic keluaran baru? Tapi Adrian langsung bilang tidak mau tanpa pikir dua kali.

"Harganya bisa beli matic baru lo Mas." Tawar Atta lagi pagi ini saat mereka sama - sama sarapan sebelum berangkat ke kantor masing-masing. Pasalnya si atasan yang ternyata pencinta vespa itu sudah lama mengidamkan koleksi baru jenis si hijau, selalu saja merecokinya setiap hari.

"Mau diganti PCX juga aku moh Ta. Kenangannya itu lo. Dari jaman SMA udah nemenin aku itu si hijau."

"Gamon yo Mas." Timpal Atta sambil tersenyum miring.

"Yo beda. Koen ndak usah nyama - nyamain to." Adrian yang menyadari nada cemooh Atta segera saja menjawab.

"Bedane opo coba? Wong sama - sama mentok dikenangan to?" Balas Atta lagi.

"Yo wes yang ndak mentok lagi dikenangan." Sindir Adrian balik. Atta balas tersenyum.

"Koen semalam diajakin kemana?" Adrian sudah selesai dengan bubur kacang hijaunya lalu beralih ke kopi hitam yang sudah mulai dingin.

"Minta ditemenin nyari kemeja sama dasi katanya Mas Dewa mau ada meeting tender gede." Jawab Atta sambil membereskan peralatan makan mereka dan memindahkannya ke bak cuci piring.

"Cieee yang punya Mas." Adrian tertawa puas. Ia jujur senang luar biasa saat Atta mulai bisa menerima ajakan Dewa. Atta yang semula cuek dengan segala usaha Dewa itu akhirnya luluh juga. Saat dikomentari beginipun adiknya itu malah ikut senyum. Dibanding siapapun, mungkin Adrian paling bahagia dengan ini. Atta yang sekarang rasanya sudah tidak lagi pura-pura dibalik senyum dan tawanya.

"Mas Ian lan Ibu podo ae. Opo - opo diketawai." Ujar Atta lalu mengambil tas kerjanya.

"Yang ngetawai koen iku sopo? Aku lan Ibu seneng liat koen begini Ta. Yang ndak pake topeng." Adrian mengacak pelan surai coklat gelap adiknya itu.

"Wes to berangkat. Awas telat potong gaji." Pungkas Adrian lalu melangkah keluar rumah. Sedang Atta merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Dalam diam ia memikirkan kalimat Adrian barusan. Jadi yang sedang ditatapnya dalam cermin ini adalah Atta yang tidak lagi bertopeng? Sepertinya begitu.

[✔️] Infinity [YNWA AU]Where stories live. Discover now