01

926 130 17
                                    


Maafkan aku
Yang membiarkanmu
Masuk ke dalam hidupku ini

.
.
.
.
.
.
.

Kota Pahlawan pagi ini ditemani matahari yang cukup menyengat. Baru pukul sembilan namun panasnya mampu membuat punggung tangan Atta memerah karena terpapar langsung tanpa lapisan sarung tangan.

Sudah hampir tiga bulan ia kembali menghirup udara Surabaya. Dan selama itu pula ia punya jadwal rutin bolak balik ke rumah bersama vespa hijau lumut warisan Adrian untuk menemani dan mengurus Ibu hingga pukul lima sore.

Rumah tempatnya tumbuh besar namun sudah ia tinggalkan sejak lima tahun yang lalu. Atta memang saat ini sudah pulang ke Surabaya, namun ia tetap bersikeras tidak mau pulang ke rumah ini dan menempati lagi kamar atap kesayangannya.

Ia masih belum bisa lupa satupun kalimat pamungkas Bapak yang membuatnya mantap angkat kaki dan pergi jauh dari rumah ini. Ia sudah tahu pasti jam berangkat dan pulangnya Bapak sehingga belum sekalipun Atta bertemu beliau sejak kepulangannya. Sepulang dari Jakarta, Atta memilih tinggal di kontrakan Adrian. Kakak satu - satunya itu menyewa sebuah rumah kecil yang lumayan dekat dengan kantornya. Dan sejak Atta tinggal disana, Adrian kadang memilih bolak balik rumah kantor. Meski lelah, Atta bisa lihat bahagia di wajah Adrian saat mendapati Atta menemani dan mengurus Ibu yang masih lemah. Serangan jantung terakhir menyebabkan tubuh beliau lebih lemah dan benar - benar butuh bantuan.

"Mas? Nggak kerja?" Atta sedikit kaget mendapati Adrian yang tengah meregangkan otot - ototnya di halaman, di sebelah kursi roda Ibu. Rupanya Adrian sudah duluan memulai tugas wajib Atta mengajak Ibu keluar rumah.

"Bilangnya ke orang kantor capek, e dianya malah olahraga. Sakit betulan rasakno koen Mas." Sebut Ibu sambil menatap anak sulungnya yang kali ini mulai push up.

"Sayang duite Mas. Kan potong gaji." Timpal Atta.

"Sekali - sekali sedekah sama kantor." Yang ditegur malah pasang senyum manis lalu lanjut sit up. Sedang Atta memulai harinya bersama Ibu dengan menyiapkan beberapa potong buah - buahan lalu menyuapi beliau.

Ibu memang tidak lumpuh, namun beliau seperti sudah menghabiskan seluruh tenaga yang ia punya saat serangan terakhir itu terjadi. Itulah mengapa Atta ada di sana setiap hari di samping beliau meski tidak dua puluh empat jam.

"Aku basket sama Dewa yo Bu." Adrian mulai mengemasi ransel yang tadi terletak begitu saja di halaman.

"Mau basket aja sampe mbolos. Waaa parah koen Mas." Atta dengan tawa miringnya yang Fajar bilang agak sedikit mirip Yogi.

"Dari pada patah hati terus berenti kerja?" Balas Adrian.

"Mas!" Potong Ibu dengan nada tidak suka.

"Biarin Bu. Biar kualat." Sahut Atta masih dengan senyum miringnya. Toh Adrian tidak salah. Ia memang mundur dari Meraki karena patah hati. Cerita di sana sudah selesai.

"Wes to. Katanya mau basket." Ibu lagi - lagi menengahi.

Setelah menyalami Ibu dan mengacak - acak rambut Atta, Adrian bergegas pergi.

"Omongan Masmu ndak usah dimasukin hati yo Ta." Wajah Ibu melunak menatap putri kesayangannya itu.

"Aku ndak apa - apa kok Bu." Jawab Atta tersenyum sambil merapikan rambutnya.

[✔️] Infinity [YNWA AU]Unde poveștirile trăiesc. Descoperă acum