Two

41.3K 3.3K 228
                                    

ALLISON POV

21.04
Aku terdiam di dalam kamar dengan wajah merengut kesal. Biasanya sekitar jam delapan malam Kak Terra akan datang ke kamarku untuk menemaniku tidur, tapi entah kenapa kali ini tidak. Apa dia marah karena aku pulang bersama Edwin? Atau karena di luar hujan deras dia jadi malas keluar rumah? Ah aku merindukannya.

Aku berjalan ke depan pintu balkon untuk mengecek apakah Kak Terra sudah tidur atau belum, dan jawabannya adalah belum. Aku mengintip dari sela-sela gorden yang terbuka dan lampu kamarnya masih menyala, dia sama sepertiku yang susah tidur jika lampunya tidak dimatikan. Aku berpikir, haruskah aku lari ke balkonnya sementara keadaan di luar sedang hujan deras? Aku ingin, karena aku sungguh merindukannya. Tapi aku takut jika dia marah dan mengomeliku. Masa bodoh lah. Yang penting rinduku nanti terbalaskan.

Aku mengambil ancang-ancang, mulai menghitung dari satu sampai tiga lalu segera berlari menuju balkon Kak Terra dengan secepat kilat. Apakah kalian penasaran mengapa aku berlari? Itu karena ada sebuah jembatan yang menghubungkan balkon kamarku dengan balkon kamar Kak Terra. Aku menyuruh ayah dan bunda untuk membuatkan jembatan itu ketika berumur 12 tahun.

"Kakkk! Kakak buka pintunya!!" teriakku sambil mengetuk-ngetuk pintu balkon. Tidak ada jawaban sama sekali. Aku mencoba mengintip lagi, tapi sial aku tidak bisa melihat keseluruhan kamarnya. Dia ada di dalam tidak sih? Aku mulai kedinginan.

"Kak, buka dong!!" Aku terus mengetuk pintu balkon dan berharap Kak Terra segera membukanya. Tubuhku sudah basah kuyup, tidak ada satu bagian pun yang tidak terkena air hujan. Aku suka dingin, tapi aku tidak tahan dingin, sepertinya besok aku akan flu atau batuk.

Lelah menunggu, aku pun menghela napas pasrah lalu mendudukkan diri sembari menyenderkan punggungku ke pintu balkon. Andai saja pintu nya tidak dikunci, maka sejak tadi aku sudah nyelonong masuk ke dalam.

Jantungku berdegup kencang saat sekilas melihat kilatan petir mulai muncul dan tak lama kemudian disusul suara gemuruh yang cukup keras. Aku menutup telinga rapat-rapat dan berdoa semoga tidak tersambar petir. Ini horror sekali. Aku benci petir.

"Balik ke kamar ga ya? Tapi kalo nanti di tengah jalan kesamber petir gimana?? Mati gue... ADUH!"

Aku terjengkang ke belakang karena pintu balkon tiba-tiba terbuka. Kak Terra menarikku masuk lalu menutup pintu balkon beserta gorden nya rapat-rapat.

"Kamu ngapain hujan-hujanan di sana?!" sembur Kak Terra sambil menatapku galak.

Aku menggaruk belakang kepalaku yang tidak gatal. "Aku mau ke sini, tapi kakak ngunci pintunya jadi aku ga bisa masuk"

"Kenapa ga ngomong kakak dulu? Punya HP kan?"

"Ga kepikiran. Maaf," ucapku dengan bibir mengerucut.

Kak Terra menghela nafas kemudian berjalan menuju lemari untuk memberiku pakaian ganti. Sebenarnya itu pakaianku sendiri yang memang sengaja beberapa aku simpan di lemarinya, karena kalau pakai baju Kak Terra tidak akan muat. Tubuhku sedikit lebih tinggi darinya dan tubuh Kak Terra sangat langsing, pasti sesak jika aku memakai pakaiannya.

"Ganti baju. Nanti kamu sakit," suruhnya, kali ini dengan nada lembut. Aku mengangguk patuh lalu mengambil alih pakaian di tangannya dan segera masuk ke kamar mandi.

Tak butuh waktu lama aku keluar dengan rambut yang masih basah. Kak Terra duduk bersila di atas ranjang sambil menatapku tajam sekaligus intens, di pangkuannya ada sebuah handuk kecil yang tidak ku ketahui untuk apa.

"Duduk!" Dia menyuruhku duduk di depannya, maka tanpa banyak bicara aku melakukan apa yang dia pinta.

Aku duduk bersila di hadapannya dan berkata dengan jujur. "Aku takut kalo kakak ngelihatin aku kaya gitu"

Sorry, I Love You (GxG) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang