It's Just Another Day

1.8K 441 80
                                    

| Drama | Angst |

Cerpen bertema perayaan
Repost Grup W_Undercover

| E-Jazzy | 1588 words |

"JANGAN PANJANG umur lagi!"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"JANGAN PANJANG umur lagi!"

Terdiam serempak anak cucu sepupu kemenakan sanak saudara tatkala si Tua menyalak, menolak doa yang belum lagi terlontar utuh-utuh. Mak Mur mendekap sang buah hati, Albi, lantaran bocah rambut putih itulah yang awalnya bersorak-sorak hendak memanjatkan harapan pada Tuhan untuk ulang tahun kakek buyutnya yang ke 99.

"Sudah cukup 35 tahun diabetes, 20 tahun katarak, 10 tahun penyakit jantung, 7 tahun kaki pengkor!" Si Tua mengayun-ayunkan tongkat ke hadapan wajah para paman, lantas menampar-nampar udara di depan muka para bibi. "Jangan didoakan panjang umur lagi! Habis sudah usiaku tahun ini!"

Bi Jak lekas mencairkan suasana, mengalihkan segenap perhatian dalam ruangan kepada kue hijau pandan berlilin angka 66. Tawa membuncah lagi oleh guyonan bersambut dari para paman dan keponakan perihal lilin.

Si Tua menyingkir ke ujung ruangan, terduduk ke kursi kayu keras, mengamati famili bersenda-gurau di sekeliling meja makan.

"Senyumlah Mbah," bujuk Mak Mur seraya memepet si Tua yang punya acara hari jadi. Jari si wanita berbadan subur itu menunjuk ke jendela besar yang mengarah langsung ke lahan hijau terbuka berkanopi langit malam. "Nanti kita menyalakan kembang api di sana dengan para cucu, Mbah, hitung mundur tahun baru."

Si Tua tertawa getir di kursinya. Jari tangan runcing-runcingnya mencengkram tongkat kayunya. "Tahu kau, Mur, kenapa aku izinkan mereka menyalakan kembang api malam ini?"

Mak Mur menelaah wajah si Tua, berpura-pura tegar meski tahu kupingnya bakal dipanaskan lagi oleh omongan bak lecut berapi dari sang tuan rumah.

"Biar terbakar sekalian rumah ini! Habis warisan, tak dapat apa-apa mereka! Matilah aku dengan tenang malam ini, dibakar bersama kandangku."

Mak Mur terbatuk satu kali. "Jangan begitu, Mbah. Kami ada di sini karena sayang Mbah, bukan demi rebutan harta warisan."

Si Tua seolah tidak mendengarnya. Jari bengkoknya menunjuk ke jendela. "Tahu kau, kenapa jendelanya tidak berterali?"

Mak Mur terbatuk dua kali diikuti bunyi basah serak napasnya.

"Biar masuk rampok maling bandit dan kawanannya kemari. Kalau bisa yang berpistol. Jarah saja semua yang ada di sini. Tenang matiku malam ini."

Mak Mur batuk lagi. Dadanya mulai naik turun. Menyerah wanita itu untuk berdiri, lalu menghempas diri ke samping si Tua untuk mengistirahatkan badan bongsor hasil keseringan diisi cairan infus.

"Beruntung, kau, Mur." Si Tua menggeleng-geleng. "Kepala tiga sudah asma, sudah keliling bangsal ke ICU. Cepat kau mangkat nantinya. Anak albinomu itu juga tak bakal menderita lama-lama mengurusimu."

CaesuraWhere stories live. Discover now