Extra Part

4K 164 19
                                    

Barangkali hati memang adalah sebuah perkara yang tak dapat diresapi seara pasti, dipahami secara mumpuni, tetapi panduannya telah ada untuk membuat manusia lebih berhati-hati. Jika sebuah cinta hadir dari pria yang diidamkan, maka bisa saja hati menjadi lebih bahagia dari yang bisa dibayangkan.

Namun, manusia sendiri tak dapat mengerti soal rasa dalam hati di masa mendatang. Barangkali pria yang tak dikenal, atau dibenci sekali pun, yang tak pernah terpikirkan dalam hati pun, bisa saja menjadi jodoh yang dikirim langsung oleh Allah azza wa jalla.

Aliand Raska Raffael adalah bukti nyata mengapa Maira meyakini bahwa hati adalah hal yang tak pasti. Ia tak pernah sekali pun berpikir mengenai pria satu itu, tetapi justru kini, yang ada dalam ruang-ruang hatinya, bahkan hingga ke sudut terkecilnya pun dipenuhi oleh pria bermata sendu itu.

Teringat sebuah kejadiannya di pondok pesantren beberapa tahun lalu, di mana ia pernah merasa begitu tertekan pada hilangnya sosok Ibrahim dari pandangannya. Ia berusaha kembali berfokus pada pendidikan agamanya, agar senantiasa tetap bisa talaqqi pada Romo Kyai besar di pondok pesantrennya yang tak lain adalah ayah dari pria idamannya.

Namun, sekali lagi, perihal hati adalah apa yang tak disangka.

“Maira, nih, sosis goreng jatah makan siangku, buat kamu. Alimu.”

Sebuah plastik terlempar begitu saja dari luar jendela tempatnya mengajar, beserta dengan secarik kertas bertuliskan kalimat tersebut. Keningnya berkerut, bahwa sepertinya tidak ada yang bernama ‘Alimu’ di pondok putri, dan lagi sosis goreng adalah makanan yang sedikit tidak disukainya, karena untuk mendapatkannya di pondok, harus bersusah payah antre lama.

Hampir setiap kali ia berada di sudut kecil masjid tempatnya mengajar kelas hafidzah membantu Umi dari Ibrahim, ia selalu mendapatkan bungkusan seplastik kecil berisi 2 buah sosis goreng. Dengan tulisan yang sama, dan yang membuatnya tersenyum adalah kertas yang digunakan. Sobekan dari buku tulis, di mana di baliknya selalu terdapat huruf-huruf hija’iyah yang rupanya ditulis oleh orang yang baru saja menulis huruf Arab sambungan. Hingga, ia selalu menyimpannya.

“Alimu, siapa Alimu? Aku belum pernah mendengar namanya di pondok putri … tidak mungkin dari pondok putra, kan?” gumamnya sembari duduk dan memakan sosis goreng, yang entah kenapa ia selalu tersenyum ketika memakannya, bahkan ia hampir saja melupakan kesedihan karena tidak dapat mendengar suara tartil Ibrahim membaca ayat-ayat firman Allah.

“Kalau dia seorang putra, sungguh berani sekali melewati Tukang Jagal pondok ini hampir setiap hari.”

Maira tertawa kecil, yang tanpa disadarinya, dari salah satu cabang pohon besar di sisi lain pondok putri, terdapat seorang lelaki yang hampir saja jatuh karena saking bahagianya melihat Maira.

“Wahh, dimakan,” ucapnya disusul gelak tawa tertahan, karena ia tak ingin ditangkap oleh Tukang Jagal pondok yang benar-benar akan menjagalnya akibat masih saja berani mengintip kawasan pondok putri. Seperti rutinitasnya dihukum setiap hari karena berusaha menyusup untuk menemui Maira. Meskipun, ia harus menahan sakit karena gigitan semut yang terkadang tidak ia rasakan.

“Jangan bilang, kamu suka makan sosis goreng gara-gara aku?”

Maira melongo, sedangkan Ali yang sedang ada di dapur sebuah vila mungil di tengah bukit-bukit tanaman para petani di kawasan Batu, Malang. Ia hanya berkedip-kedip tak mengerti arah pembicaraan suaminya, yang entah mengapa tak membiarkan ia masuk dapur, padahal bentuk masakan Ali juga tak dapat dipastikan rasanya.

Ali mengerutkan kening mendapati respon Maira yang tidak sesuai imajinasinya.

“Iya, kan? Kamu pasti suka sosis goreng gara-gara sering aku kasih sosis goreng waktu di pondok.”

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang