Bab Dua Puluh Tiga: Maira-ku

2.4K 213 88
                                    

Sesi saling diam akibat kabar yang dibawa Ali itu begitu disesalkan oleh Reva. Tetapi, ia juga harus menerima andaikata kabar tersebut adalah benar. Tiada satu pun yang berbicara di antara keduanya. Tetapi, tiada satu pun yang menyadari bahwa ada manusia lain yang secara sadar pun ikut terdiam. Terbungkam akan kedukaan dalam gejolak amarah batinnya sendiri. Menanggung semua lukanya sendiri, seperti biasa yang ia lakukan.

Hanya saja, untuk saat ini … ia mulai enggan untuk berpura-pura kuat lagi.

Hingga adzan Maghrib berlalu, Ali benar-benar merasa lelah menunggu kapan Maira bangun dari tidurnya. Tidak ada pergerakan sedikit pun dari perempuan yang tengah mengandung calon anaknya itu. Lututnya yang di menit-menit pertama bisa diam, kini tidak lagi. Ia mulai gelisah dan merindukan sebuah nama.

"Ra, bangun, dong."

Namun, bukan Maira.

Sementara itu, Reva sudah duduk di kursi tunggu di samping brankar Maira. Ia menatap wajah pucat menantunya yang entah mengapa menjadi begitu tenang. Meskipun, perempuan itu terlihat begitu mengenaskan dengan pipi tirusnya, pucat kulitnya, dan juga lingkaran hitam di sekitar matanya. Namun, perempuan Shaliha itu benar-benar terlihat begitu nyaman dipandang, menyejukkan, dan juga tetap menawan seperti ia tengah melihat bayangan seluruh kebaikan. Reva tersenyum miris, ia begitu menyayangi menantunya, tetapi putranya justru menyia-nyiakan perempuan seperti Maira.

Lalu, Reva tersentak akibat suara Ali yang kembali menanyakan tentang proses lamarannya ke rumah Asma Hanna. Ia tak dapat berpikir dengan jernih akibatnya, pikirannya memprotes segala hal yang disimpulkan oleh Ali. Namun, ia juga akan percaya andaikata Maira melakukannya. Reva tahu, bahwa betapa besar cinta Maira kepada putranya itu. Namun, untuk sebuah keputusan ini. Ia tak bisa berdiam diri kembalimembiarkan bahtera yang selalu dilihatnya dari kejauhan itu benar-benar dalam badai di tengah palung.

"Gimana, Ma?" tanya Ali untuk ketiga kalinya dengan berdiri dari duduknya.

"Tunggu Maira bangun atau kamu tidak akan pernah dapat restu Mama," tegas Reva. Setelah sekian lama ia diam, menahan kekesalan pada putranya.

Entah pergejolakan apa yang terjadi pada hati Ali, yang jelas ia enggan berada di ruangan yang didominasi warna putih dan biru pucat itu berlama-lama. Ia tidak mengerti pada segala hal yang menjadi keharusan baginya merawat amanah yang dari Allah azza wa jalla. Sebuah amanah penting dalam kehidupan, tetapi ia lupakan hakikatnya. Maira-nya.

Ali akhirnya memilih untuk duduk di sofa kembali, di posisinya semula, dengan perasaan yang semakin campur aduk saja. Ia tidak bisa membiarkan Asma tercintanya menunggu lama akan kehadirannya. Sebuah pesan masuk, dengan nada dering pelan. Namun, Reva menatap sinis pria berwajah berseri itu dari lirikan mata tajamnya.

Asma Hanna: Akhi, kenapa belum datang?! Aku menunggu!

Ali berdecak.

Lalu mendongak, menatap mamanya yang enggan barang sedikit pun beranjak dari kursi di samping brankar Maira. Bahkan untuk waktu yang lama. Wanita paruh baya yang kini telah menggunakan jilbab sejak dari Malang, saat pernikahan Ali dan Maira dulu, itu hanya menggenggam tangan mungil yang mengurus milik Maira. Reva melihat gerak-gerik Ali sedari tadi yang duduk gelisah dimakan ketidaktenangan batin, tetapi ia diam dan membiarkan semua itu terekam dari sudut matanya.

"Ma …."

"Jangan meminta hal yang sama pada Mama. Kamu tahu jawaban Mama akan tetap sama."

Lagi, ia berucap tegas.

Sebelum ia hendak mengatakan sesuatu, ia menoleh ke arah jemari mungil Maira yang ada dalam genggaman tangan rentanya. Entah ia yang terlalu mengharapkan perempuan shaliha itu bangun, atau memang itu adalah halusinasinya, atau bahkan perempuan ayu itu benar-benar telah sadar sejak pingsan mulai tadi pagi. Reva memicingkan matanya demi mendapat pandangan.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang