Empat Belas: Sakura Merona, Asma Hanna

2.6K 205 31
                                    


Selama perjalanan Ali mengemudikan SUV hitamnya, ia hanya diam tanpa pembicaraan apapun. Reva pun sibuk dengan pemikirannya sendiri. Hingga tiba di pelataran rumah sakit. Keheningan mobil itu dirusak oleh dering ponsel Ali yang terdengar nyaring. Lalu Reva memicing karena melihat seberkas senyuman muncul begitu Ali melihat layar gawai.

"Ali angkat telfon dulu. Ini penting."

"Mama tunggu."

"Mama langsung masuk dulu, saja. Ali cuma sebentar."

"Kamu mengecewakan Mama, Li."

"Ma ...."

Reva tak lagi menggubris panggilan Ali. Lalu ia segera memanggil taksi untuk pergi mengambil barang-barang Maira. Ia tak bisa membiarkan menantunya diabaikan begitu saja.

Sementara, Ali yang menatap punggung mamanya dari dalam mobil yang terparkir di pelataran rumah sakit. Kini menatap gedung rumah sakit dengan jendela-jendela kaca. Ia tahu, pasti di balik salah satu jendela itu terdapat istrinya yang tengah berbaring. Lalu, rasa rindunya mendadak teralihkan dengan nada dering ponselnya yang semakin lama semakin nyaring dan diimbuhi dengan wewangian seperti beraroma sakura.

"Asma."

Ia membaca nama penelepon yang tertera di layar ponselnya. Ali tersenyum. Lalu menggeser ikon telepon warna hijau ke kanan. Panggilan tersambung.

"Assalammualaikum, Asma."

"Waalaikumussalam, Akhi Ali."

Ali mengembuskan nafas dengan riang dan hatinya terasa menjadi berubah warna. Menjadi warna dan penuh aroma sakura, mengingat jika perempuan bercadar yang sedang berbincang dengannya melalui telepon adalah pecinta sakura dan warna merah muda.

"Kata Ustadz Azham, Akhi Ali akan ke rumah ana hari ini?"

Ali terkekeh.

"Kenapa tertawa?"

"Ustadz Azham sudah bilang?"

"Na'am, Akhi. Kemarin lusa, Ustadz Azham telepon Asma, katanya begitu. Akhi Ali jadi ke rumah, kan?"

"Kalau tidak jadi?"

"Ya, kan, Asma dan Abah sudah menunggu kedatangan Akhi."

Ali terkekeh, lagi. Lalu berucap, "baiklah, baiklah. Saya bersiap-siap untuk ke sana dengan Ustadz Azham sekali."

"Asma tunggu."

"Iya. Assalammualaikum."

"Waalaikumussalam."

Ali menggeleng-gelengkan kepalanya dengan kekehan riang. Lalu setelah mengirim pesan kepada Ustadz Azham, ia kembali menyakukan ponselnya. Segala pikiran tentang Maira yang tengah sakit pun, teralihkan begitu saja. Tangannya terasa begitu mantap untuk memutar setir dan pergi dari pelataran rumah sakit untuk menjemput Ustadz Azham dan segera mengunjungi rumah Asma. Bunga sakuranya. Tanpa sekali pun menengok ke arah rumah sakit. Karena ia pun bertanya 'untuk apa ia berada di pelataran rumah sakit'.

Mobil SUV hitam mengilat itu berhenti di depan sebuah rumah sederhana, dengan gerbang hijau yang di dalam halaman kecilnya dipenuhi tanaman hias—tampak rimbun dan menyegarkan dipandang mata. Lalu, tiga orang pria keluar dari dalam mobil itu bersamaan dengan terbukanya pintu rumah. Seorang pria berkepala plontos keluar dari rumah tersebut dengan senyuman lebar hingga menunjukkan gigi-gigi tak putihnya.

"Ustadz Azham, Nak Ali, dan Vio. Akhirnya datang juga," sambutnya dengan suara lantang. Tidak lupa dua tangan besarnya yang terbuka lebar seakan ingin merangkul ketiga tamunya bersamaan. Lalu setelah melihat garangnya garis wajahnya, mendadak terpikir agar ia tak meremukkan apa yang dipeluknya. "Mari masuk," imbuhnya.

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang