Bab Dua Puluh Sembilan: Rindu yang Berjejalan

2.4K 212 53
                                    

"AKU akan bawa kamu pulang, Ra."

Ali, lagi-lagi, berdiri di antara banyaknya penumpang yang baru saja mendarat di bandara ABD. Shaleh. Banyak tujuan yang telah tercapai bersama, atau hanya sekadar mendarat sekejap dan terbang kembali melanjutkan perjalanan ke setiap destinasi masing-masing. Ia menghirup aroma bakso yang mulai tercium ketika ia berada di luar lobi bandara, bersiap menaiki mobil yang menjemputnya dari kantor cabang.

Ia hanya diam di kursi penumpang, menatap kosong ke arah jendela mobil yang menampilkan pemandangan aktivitas penduduk Malang. Lalu lintas yang tak terlalu ramai, dihiasi dengan proyek pembangunan tol yang membuat jalanan menjadi kotor karena bahan material juga udara penuh debu. Terlebih, mendadak ia mengerutkan kening ketika melihat sebuah masjid yang ditutupi beberapa terpal untuk menghindari debu-debu pembangunan tol di atasnya. Dan luar biasanya, aktivitas jemaah masih berlanjut seperti biasa.

"Berhenti sebentar, balik ke masjid tadi. Sebentar lagi Dhuhur."

Tidak ada protes dari sopir kantornya itu, lagipula siapa yang hendak memprotes perintah dari Presiden Direktur perusahaan besar itu. Terlebih, adalah putra dari mendiang komisaris yang masih mendapat tempat terhormat istimewa di hati para karyawan.

"Maaf, Pak. Jalanan sedang sedikit macet."

"Oke."

"Bapak sedang terburu-buru?"

"Ya, tolong cepat."

Ia hanya membiarkan supirnya itu membawa mobil dengan cepat dan efisien. Ia tidak ingin membuang-buang waktu hanya untuk berpanas-panasan dalam mobil dan berdiam diri dengan suasana kemacetan. Ia memiliki hal yang lebih penting untuk dilakukan daripada untuk melakukan hal itu. Meskipun ia tahu, bahwa menerobos lalu lintas yang sepadat itu dengan mobil juga tidak mungkin dia lakukan. Ia harus menunggu, meski itu menyesakkan.

“Bersabar dalam memahami sesuatu, juga salah satu pembelajaran dalam menuntut ilmu.”

Ali tersenyum kecil, lagi-lagi suara perempuan itu bergema di seluruh indera yang ada dalam tubuhnya. Suara dengan kelemah lembutan yang selalu mengiringi setiap pembelajarannya dalam mengais ilmu-ilmu agama. Ia selalu mengejar ketertinggalannya dalam urusan Islam, ia ingin menjadi Abu Hurairah yang tidak hanya berdiam diri. Melakukan segala hal dengan sekuat tenaga untuk mempelajari Islam yang sebelumnya tak dikenalnya, terlambat diketahuinya, dan belum dicintainya.

''Aku sedang belajar mencintai Allah. Abi bersabar, ya. Karena saat aku mencintai Abi, aku ingin semuanya karena Allah.”

Nafasnya terembus pelan, matanya terpejam sejenak, kemudian menatap jendela mobil yang kali ini cukup ia perhatikan setiap detail aktivitas warga di sepanjang jalan menuju rumah Maira. Semua menarik perhatiannya. Hingga perjalanan yang terasa menggelisahkan dirinya itu benar-benar membuatnya tak berdaya, kini telah berakhir. Ia menatap rumah mungil yang telah mendarah daging dalam setiap pola pikir Maira. Rumah mungil penuh kasih sayang dan kelembutan—yang sudah ia hancurkan.

"Dia di dalam."

Ali mengangguk, menatap pintu berwarna coklat dengan tanpa hiasan sama sekali. Ia tidak tahu, jika hiasan pintu dengan ornamen kayu bertuliskan nama istrinya itu telah dilepas. Ia hendak meraih pegangan pintu, tetapi Abah mencegah tangan itu memutar knop. Alisnya bertaut.

"HP kamu mana?"

"Kenapa, Bah?"

"Radiasinya nggak bagus buat kesehatan Maira."

Buku #2 | My Persistent Niqobi [TAMAT]Where stories live. Discover now