Part 12

20 2 0
                                    


Lama-lama Aya jadi terbiasa dengan kehadiran Dion di pinggir lapangan saat latihan volley seperti hari Sabtu pagi itu. Teman-teman Aya bersorak saat cowok itu datang dan duduk di atas rumput di pinggir lapangan dengan santainya menonton mereka latihan. Aya tidak protes lagi dengan kehadiran Dion di pinggir lapangan, toh percuma, larangannya tidak pernah dihiraukan. Usai latihan Aya mandi dan lalu pergi bersama Dion ke rumah singgah dimana ia mengajar melukis.

Kelas melukis hari itu hanya diikuti oleh 9 anak, yang tidak hadir adalah justru Jamil, satu dari murid yang Dion anggap menjanjikan. Dion merasa agak kecewa, karena dia punya cita-cita sendiri untuk Jamil. Ia ingin mengentaskan anak itu dengan merekrutnya ke dalam tim gambar di distro-nya. Setengah jam kelas berjalan, tiba-tiba Jamil masuk sambil minta maaf karena terlambat. Sekitar matanya yang sebelah kiri terlihat biru.

"Kenapa mata kamu?" tanya Dion selesai kelas.

Jamil nyengir, "Jatuh Kak."

Mas Randy mendekati Dion tak lama kemudian sepeninggal Jamil dan teman-temannya yang lain. "Anak-anak itu akhir-akhir ini mendapat tekanan dari preman-preman senior sekitar sini. Mereka nggak suka dengan keberadaan rumah singgah ini karena dirasa mengurangi pemasukan uang setoran dari anak-anak yang ikut kegiatan di sini. Kalau anak-anak itu banyak menghabiskan waktu di sini otomatis mereka nggak kerja. Mungkin Jamil diancam tapi melawan, dan akibatnya matanya bonyok."

Dion menggeleng-gelengkan kepalanya prihatin.

Aya memperhatikan Dion tampak muram sewaktu mereka bersama-sama berjalan menuju tempat dimana mereka memarkir mobil mereka masing-masing.

"Kenapa lo?"

Dion menceritakan percakapannya dengan Mas Randy.

Aya mengangguk-angguk, "Memang beberapa anak pernah diancam oleh preman-preman sekitar sini supaya tidak main ke rumah singgah lagi. Ada berapa anak yang laporan sama gue."

"Terus kita diam aja gitu?" tanya Dion gemas.

"Untuk saat ini kita nggak bisa melakukan apa-apa karena memang kita nggak pernah memaksa anak-anak jalanan untuk datang ke sini. Kita hanya menyediakan tempat agar mereka memiliki tempat bernaung dan belajar. Banyak sekali tantangannya, salah satunya ya larangan atau ancaman dari preman-preman itu supaya anak-anak itu nggak dateng ke sini agar mereka tetep bisa nyetor uang."

"Orang tua mereka kemana?"

"Jarang yang punya orang tua, kalaupun ada, biasanya tidak lengkap. Mereka anak yang lahir dan besar di jalan."

Wajah Dion makin mendung. Ditendangnya sebuah kaleng kosong yang menghalangi jalannya sampai melenting jauh.

Aya menarik tangan Dion. "Dion, sori kalau elo kesel. Kadang keadaan ini bikin gue kesel juga. Tapi inilah realita."

Dion menatap wajah Aya lama seperti mencari kata-kata yang pas.

"Jangan minta maaf Ya. Nggak ada yang salah. Gue hanya kesel sama diri gue sendiri. Kemana aja gue selama ini? Gue cuma anak manja yang merasa jadi korban sebuah perceraian dan selama ini bisanya cuma mengasihani diri sendiri. Padahal banyak anak-anak model Jamil yang hidupnya jauh lebih kurang beruntung dari gue."

Aya tersenyum, "Belum terlambat untuk berbuat sesuatu. Mudah-mudahan ilmu yang elo kasih ke mereka bisa bermanfaat untuk hidup mereka nanti."

Dion mengangguk, "Thanks Ya, udah ngenalin gue ke rumah singgah ini. Ternyata selama ini gue hidup di awang-awang."

Aya tergelak, "Gue nggak pernah ngajak elo ke sini, seinget gue elo yang maksain ngikut."

Playboy Versus TomboyOnde histórias criam vida. Descubra agora