MUARA 22

8.8K 971 301
                                    

KEANU

Semenjak kejadian intim malam itu, hubungan antara aku dan Viara semakin dekat dan .... intim.

Viara tidak malu-malu lagi untuk menunjukkan ekspresinya di hadapanku, dia juga tidak menyebutku dengan panggilan "Pak" lagi. Syukurlah, aku merasa sangat tua dipanggil seperti itu oleh Viara.

Hari demi hari yang kami lewati, aku semakin tahu tentang sikap Viara yang lembut dan manja. Dia baik, dan membuatku merasa nyaman.

Itu yang terpenting.

Maaf ... tapi aku harus mengakui, dengan adanya Viara di sisiku. Membuatku lupa dengan rumahku sendiri, yakni; Kahyang.

Maaf, Yang, maaf, aku tidak bermaksud untuk mengkhianati janji kita, cinta kita, dan perjuangan kita selama ini. Tapi... aku hanya laki-laki normal yang merindukan hubungan biologis bersama wanita.

"Mas...."

Aku langsung tertegun mendengar Viara memanggilku sambil mengguncang bahuku pelan.

"Eh, iya, kamu mau nonton film apa?" Aku menoleh padanya.

Viara diam, ada kerutan di dahinya sebelum ia tertawa. "Udah hampir setengah jam aku nonton film pilihan kamu sendirian. Dan kamu malah tanya kita mau nonton apa?"

Aku melongo. Lalu menatap layar laptop dan tersadar kalau lamunanku sudah terlalu jauh. "Eh, maaf, maaf. Aku jadi nggak fokus...."

"Pikiran kamu jauh banget sih, kayak punya anak sepuluh yang harus dibeliin susu." Kelakar Viara. "Kamu nggak sakit kan?" Viara menyentuh dahiku penuh kelembutan.

"Aku baik-baik aja, kok." Aku menyingkirkan tangannya dari wajahku.

"Mau aku masakin bubur?" Tawar Viara perhatian. "Atau kamu mau aku pesanin makanan? Kamu bilang saja Mas, jangan sampai kamu sakit gara-gara mikirin kerjaan." Viara membelai rambutku dengan jemarinya yang lentik.

Sifat Viara yang sangat aku sukai; dia sangat lembut dan perhatian. Walaupun aku tahu Kahyang tak kalah perhatiannya. Tapi selalu ada perbandingan antara mereka berdua—yang tidak bisa aku ungkapin dengan kata-kata karena akupun bingung mencari alasannya.

"Enggak perlu, Vi. Aku nggak apa-apa kok."

Bibir Viara melengkung ke bawah. "Aku cemas tahu...." ia menyentuh pipiku, dan menempelkan kepalanya di atas dadaku. Lima detik kemudian kepalanya mendongak menatapku. "Aku nggak pernah senyaman ini sama laki-laki. Kamu berhasil mengguncang duniaku, Mas."

Aku menelan ludah.

"Aku selalu merasa aman setiap kali ada di dekat kamu, aku hanya berharap kamu jangan pernah pergi dari kehidupan aku. Karena aku mulai cinta sama kamu."

Aku membeku. Mata kami saling berserobok hingga aku dibuatnya nyaris tak berkedip.

"Maaf kalau aku lancang." Ia menjauhi tubuhnya. "Seharusnya aku nggak boleh ngomong hal ini sama bosku sendiri. Benar-benar nggak sopan." Viara menutup wajahnya dengan telapak tangan, tiba-tiba saja dia terisak.

"Hei, Vi...." aku berusaha membujuknya. "Kamu nggak perlu nangis."

"Maaf kalau aku lancang sudah suka sama kamu, dan berani berhubungan intim sama kamu." Viara terisak sampai bahunya bergerar.

"Husss, kamu ngomong apa sih, Vi?" Aku menarik kepalanya kembali mendekat. "Nggak ada yang salah kok. Kamu nggak perlu nangis."

"Makasih selalu ada buat aku, Mas." Viara mengusap wajahnya dan mendongak lagi dan kembali membelai wajahku.

Aku merasa darahku mulai mengalir deras hingga ke ubun-ubun. Aku menyentuh bibir tipisnya dengan jempolku, dan tidak tahan untuk tidak menciumnya. Dan tebak saja, kami melakukannya lagi.

TERBELAHNYA MUARA (segera terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang