16 | Hidden Fact

3.2K 678 192
                                    

Feel free too leave this story if you not interested with this one anymore, guys :)

|||


Malam itu mencekam, Aeri tahu seharusnya ia tak menemui Jimin seperti ini. Menahan jiwa sendiri sekuatnya, ternyata masih saja tergagap ketika mata mereka saling tatap. Membuat Jimin terpingkal karena melihat sesuatu yang menjijikan bagi dirinya. Karena di mata satu sama lain, mereka tak lebih dari seonggok daging kotor yang harusnya dicuci dengan seratus botol pewangi laundry.

Aeri datang dengan rambutnya yang diikat kuda, mengenakan sweater cukup tebal dan celana jins kelabu yang serasi. Bibir ranumnya sedikit bergetar, entah menahan dingin atau menahan gugup. Keduanya sama-sama menyebalkan bagi wanita itu.

"Jangan merasa menjadi yang paling tersakiti, Ahn Aeri!" Suara Jimin sedikit meninggi, sedangkan Aeri yang merasa disudutkan merasa emosi setengah hidup.

"Dan jangan seolah-olah menjadi korban, Park Ji-Min!" Nadanya ketus, itu membuat Jimin terkekeh pelan hingga bahu lebarnya bergetar.

"Aku juga korban, asal kau ingat dengan apa yang kau perbuat."

Mata Aeri terbelalak, menatap iris Jimin yang sehitam jelaga ketika pria itu melontarkan kalimat yang membuat emosinya kian berada di puncak. Tetapi ia tak dapat melakukan apa pun, hanya mengingat bahwa apa yang ia lakukan dulu bukanlah kesalahan, ia tak pernah menembakkan revolver, ia tak pernah menusuk siapa pun, ia hanya memberi secarik kebenaran tentang sosok lelaki di depannya pada seorang wanita paruh baya. Ya, kebenaran yang tak pernah ia sadari memiliki kekuatan yang lebih mengerikan dari pada semua itu untuk membuat seseorang memilih mengakhiri hidup.

Namun lagi-lagi hatinya menolak, bisikan-bisikan yang merasuki pikirannya seperti monster tengah malam yang mengaum, seolah-olah mengatakan kebenaran yang mutlak dalam benak. Dia benar, Aeri. Bukan hanya kau yang menjadi 'korban'.

Wanita itu menggeleng, menepis segalanya. Dan ketika detik itu juga Jimin melangkah maju. Satu langkah, dua langkah, sampai ia benar-benar hanya menyisakan sedikit jarak. "Aku takkan membuatmu tenang setelah apa yang kau lakukan padaku, Aeri."

Aeri ingin lari, menjauh dari manusia yang lebih ia ingat sebagai definisi iblis yang sebenarnya. Licik, penjilat, dan parahnya---dia berpura-pura menjadi malaikat yang mengklaimnya sebagai tawanan yang pantas dimusnahkan. Padahal, Aeri tahu siapa yang paling pantas untuk itu.

"Kau tahu siapa yang paling salah, 'kan? Kau tahu itu bukan aku, Aeri. Kau terlalu penakut, kau terlanjur diselimuti kekecewaan. Dan untuk meminimalisir, kau melimpahkannya padaku."

"Ya. Aku tahu siapa yang paling salah, dan sudah ku pastikan bahwa itu kau. Itu kau, Sialan!"

Lagi-lagi pria itu terpingkal, seolah gurat elegi milik Aeri meninggalkan jejak jenaka untuk dirinya.

"Kau kehilangan Ayahmu. Dan kau ... membuatku kehilangan ibu dan kakakku ... sekaligus," ucap Jimin dengan ketus.

Wanita itu merotasikan bola matanya, sedikit memicing kemudian. Bahkan Aeri tidak tahu kakak mana yang ia maksud, di mana mereka pernah bertemu. Lalu, apa dia bilang? Membuatnya hilang? Aeri akui---humor pria itu sangat payah.

"Hera. Dia kakakku. Kau juga menghancurkannya, membuatnya merasa kehilangan. Tetapi, bodohnya dia malah membantumu bangkit, memastikan rantai setan balas dendam terputus. Ah tidak, mungkin ... hanya tertunda?"

***

Taehyung menemukan Aeri yang sering melamun akhir-akhir ini, kalau Taehyung tidak salah, sejak ia mengatakan akan menemui Hera sendirian beberapa hari lalu. Wanita itu kini menjuntaikan kakinya keluar sela-sela tralis pembatas balkon kamar, mengayunkan kakinya di sana tanpa menghiraukan gerimis kecil yang menerpa wajah dan tubuhnya setitik demi setitik.

ElaborateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang