06 | Floral

4.1K 776 138
                                    

|||

mungkin kamu tidak akan suka.

Dua wanita dengan coat tebal berwarna pastel itu kini merebahkan dirinya di tepi danau. Hanya dengan sealas kantung tidur hangat yang membungkus tubuh mereka, sebab udara musim gugur cukup dingin. Apalagi di pertengahan malam seperti ini. Aeri dan Hera memang sering seperti ini, sekedar berkemah dalam beberapa hari hanya untuk kesenangan mereka yang sama; berburu bintang jatuh. Terdengar gila? Ya, sedari awal sudah dikatakan bahwa mereka memang kerap dikatakan tidak waras.


Mereka biasanya melakukan perkemahan di musim panas. Karena segala gemerlap semesta akan terpancar jelas dari sana, di tempat sunyi dan hanya bertumpu pada sumber cahaya lampu yang tidak terlalu terang. Sengaja remang, sebab mereka ingin melihat cahayanya masing-masing yang terlanjur redup dan hampir padam.

Mereka berbaring, memandangi langit hanya dengan berdiam diri. Menatap indahnya titik-titik cahaya dengan terkagum-kagum, terutama Aeri. Wanita satu itu sangat mengagumi bagaimana semesta memberi bagitu banyak meteor bersinar di atas sana, dengan cahayanya masing-masing tanpa pernah menuding siapa yang lebih terang, aku atau dia, dia atau mereka. Mereka semua diam dengan cahayanya, seolah mereka sangat yakin bahwa semua sesuai takaran semesta. Mereka hanya menerima. Berbeda sekali dengan manusia, mereka hanya tahu apa itu kurang tanpa benar-benar tahu apa itu cukup. Menghakimi semena-mena tentang siapa yang benar dan siapa yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, menjunjung tinggi masing-masing seolah memperebutkan tahta untuk mendapat pijakan tertinggi.

Beberapa saat kemudian mata mereka berdua menangkap seberkas cahaya putih yang melengkung tipis menyerupai parit, dengan segala keindahan dan harapan yang ikut jatuh ke bumi. Kedua wanita itu saling menatap satu sama lain, tersenyum tipis yang kemudian disertai anggukan kecil. Menghadap langit dan memejamkan mata rapat-rapat.

"Semesta, ini Ahn Aeri---"

"Semesta, ini Jung Hera---"

Mereka mengucap kalimat tersebut sebagai pembuka, sebelum benar-benar merapalkan doa dan segala harapan dengan sungguh-sungguh dalam batinnya. Mereka pikir, semesta harus mengenal satu sama lain terlebih dahulu sebelum mereka mengabulkan doa. Itu sebabnya, mereka selalu membiarkan semesta mengetahui nama, doa, dan harapan mereka. Tanpa satu pun yang disembunyikan. Maka, jika bertanya siapa yang paling tahu tentang mereka, jawabannya tentu saja semesta. Mereka menumpah ruahkan segalanya di sana.

Biasanya, ketika memejamkan mata untuk meminta. Hera yang selalu membuka matanya terlebih dahulu sebelum Aeri. Tetapi kali ini tidak. Ketika Aeri membuka mata, ia melihat sosok di sampingnya masih memejamkan mata, napasnya teratur. Sampai Aeri berpikir bahwa Hera tertidur. Ketika Aeri akan memegang bahu wanita itu. Satu lelehan air mata mengalir dari Hera yang masih terpejam. Semakin lama semakin deras, yang kemudian terdengar isakan kecil di sana. Membuat Aeri mengurungkan niatnya.

Aeri tahu ini, pantas saja Hera mengajak ke sini di musim gugur begini. Aeri tahu jika saat ini Hera tengah teringat tentang seseorang, seseorang yang jika Aeri ikut mengingatnya, Aeri bisa merasakan cemburu setengah mati di hatinya. Seorang yang dulu Hera cintai dengan amat sangat.

"Menangisinya lagi? Untuk apa? Dia takkan kembali, Hera."

Namun wanita itu tak kunjung bergeming, tetap memejamkan mata dengan segala pendiriannya. Membuat Aeri bergeleng dan mendekatkan wajahnya ke wajah kecil Hera, sama-sama merasakan hembusan napas dari masing-masing yang terasa hangat. Dan sepersekian kemudian bibir ranum Aeri bertemu dengan bibir tipis merah muda milik Hera. Membuat Hera membuka mata sedetik, kemudian tenggelam dalam suasana dengan pejaman matanya lagi.

ElaborateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang