11 | Harapan Tak Terduga

3.7K 703 172
                                    


|||

Jejak-jejak kaki itu melintas di tepian pantai, kemudian hilang karena ombak menggulung pasir-pasir menjadi kembali rata seperti semula. Rona senja terlihat agak pekat---sepertinya mendung? Gadis itu berkacak pinggang sembari menengadahkan wajahnya ke atas, menyusuri setiap inci jingga yang bertebaran di langit sebelah utara, semakin kentara seiring dengan tenggelamnya surya yang akan berganti dengan rembulan di galaksi.

Hera di sana---bersama Yoonhe yang atensinya sebanding dengan senja baginya. Gadis itu tahu bahwa Yoonhe hanyalah khayal semu yang ketika ia impikan lagi pun terasa percuma dan sia-sia. Tidak! Hera tidak memiliki persepsi perasaan yang sama pada Yoonhe dan Aeri. Sudut pandang yang Hera lihat dari Yoonhe jelas berbeda. Jika Hera jelas mencintai Aeri, maka entah hal apa yang cocok untuk Hera sebut untuk perasaannya pada Yoonhe. Bukan cinta---mungkin kekaguman? Entahlah, dijelaskan pun akan terlalu rumit.

Terkadang Hera merindukan punggung yang kini berdiri di tepian sana, tepat di depannya. Terlihat siluet sebab sinar jingga menabrak bahu ringkih itu. Mencoba menyadarkan akal sehat sendiri bahwa semua tak lagi sama-Hera yang kini bersama Aeri, dan Yoonhe yang kini telah memiliki suami. Ya benar, seorang suami.

Hera kini menilai hubungannya dengan Yoonhe sebagai seorang kakak adik, sebab wanita itu tak kalah cerewet ketika ia melakukan hal konyol, apalagi ketika tahu bahwa dirinya memilih orientasi seksual yang sangat tidak diduga Yoonhe. Dulu sekali bagi Yonhee, Hera hanya gadis manis yang selalu merengek meminta ini dan itu, bergelayut di lengannya ketika keinginannya tidak dituruti. Tetapi tidak banyak yang Yoonhe lakukan pada Hera, karena bagaimanapun manusia dapat memilih jalan untuk membahagiakan diri sendiri.

Hera berjalan mendekat ke arah wanita di depannya, memeluk tubuh itu dari belakang sembari mencoba menahan air mata yang akan tumpah dari kelopak matanya.

"Kadang aku merindukanmu," ucap Hera lirih.

"Kau bisa memelukku untuk melepas rindumu sebanyak mungkin, He."

Namun Hera menggeleng dengan cepat, karena jelas bukan itu yang Hera maksud. "Jangan pura-pura bodoh! Kau jelas tau bahwa aku tidak merindukan raga yang ku peluk saat ini. Tetapi ... aku masih bisa merasakan detak jantung yang sama, hangat tubuh yang sama, dan yang pasti jiwa yang sama. Kadang, aku berharap bahwa kau masih sama."

Yoonhe segera meregangkan pelukan Hera, membalikkan badannya sehingga kini bertatapan dengan iris masing-masing yang sama kelamnya. Surai mereka terbawa angin malam, tak mengindahkan satupun dari mereka karena terlalu banyak pekat yang berkubang pada jiwa mereka.

"Kau tidak bisa terus menerus melakukan itu, He. Kau sudah berjanji."

Hera sebenarnya tak kuasa menatap mata sehitam jelaga milik Yoonhee, sebab satu-satunya yang selamanya tak berubah dari seseorang adalah sorot matanya.

"Matamu masih sama. Aku menyukainya. Aku sangat menyukainya." Isaknya larut, dan tubuhnya kini direngkuh pada tubuh hangat Yoonhee. Dia tipe manusia yang paling tidak bisa melihat seseorang menangis. Apalagi Hera, seorang gadis yang jelas Yoonhe tahu sekeras apa dia mencoba meninggalkan keterpurukannya jauh di belakang.

Mereka berdua duduk di tepian, dengan kepala masing-masing yang saling bersender. Memperhatikan baik-baik bagaimana langit oranye itu berubah sepenuhnya menjadi hitam pekat, dan hanya ada sedikit penerangan di sana.

"Hera?" panggilnya lirih.

"Hm?"

"Aku ingin bertanya sesuatu," ucap Yoonhee dengan kelewat tenang, membuat Hera sedikit bangkit dan menatap lekat wajah Yoonhee.

"Tanyakan saja, aku tak keberatan."

"Taehyung. Apa dia baik-baik saja?"

Hera merotasikan bola matanya, terkekeh kecil sampai-sampai bahu tipisnya bergetar sebeb menahan agar tidak terlalu terpingkal ketika menertawakan.

ElaborateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang