03 | Pain

4.9K 805 152
                                    

|||

Derap langkah kakinya gusar, menelusuri punggung aspal yang bersinggungan dengan sepatu flat miliknya sehingga terdengar gesekan yang senada. Napasnya tak beraturan, rasanya pening begitu menggerogotinya. Otaknya menyajikan kembali ingatan-ingatan sialan yang berhasil ia kubur dalam-dalam selama ini. Aeri tidak akan menyangka bahwa seseorang yang dipilih ibunya sebagai calon menantu adalah petaka terhebat, petaka termutlak bagi Aeri.

Berengsek!

Aeri tidak tahu takdir macam apa yang tengah ia hadapi satu ini. Wanita itu berpikir berkali-kali, mencari alasan yang paling tepat tentang mengapa semestanya begitu sempit. Sesuatu yang ia hindari bahkan dengan santainya hadir dengan senyum terbrengsek miliknya, seolah bertemu kembali bersama Aeri adalah sebuah jackpot.

Kakinya bergetar, matanya menatap sekeliling dengan nanar, walaupun tidak benar-benar terjadi, tetapi Aeri sungguh seolah merasa dunianya dihancurkan kembali. Lututnya bersimbah di trotoar, dengan tangan yang kaku dan gemetar, jarinya menekan nomor seseorang untuk ia hubungi. Selalu dengan orang yang sama, seperti tiga tahun yang lalu.

"H-hera!" Napasnya tercekat, membuat sang lawan bicara dibalik telepon kepalang panik dan berkali-kali memanggil Aeri untuk menjelaskan apa yang terjadi.

"D-dia ... dia datang lagi. Aku takut, sungguh." Suaranya serak, buliran keringat mengalir tetes demi tetes berpadu dengan bumi yang meluluh lantahkan dirinya dalam sekejap.

Sedangkan wanita di seberang telepon menggertakan giginya, meremas ponsel dengan kuat dan serasa kepalanya mendidih sebab emosi begitu merajai. Pasalnya, ia tahu apa yang akan terjadi. Tepat seperti tiga tahun yang lalu, ketika pertama kali Hera menemukan Aeri yang hanya hidup dengan sisa keajaiban.

Sangat mengerikan.

Tak lama setelahnya Hera segera menyusul Aeri, membawanya ke apartemen dengan kondisi yang begitu buruk. Hatinya sungguh mencelos, bagaimana tidak? Ia begitu mencintai Aeri. Tidak ada satu pun manusia yang ingin membiarkan kekasihnya terpuruk.

"Jadi?" tanya Hera pelan, menyuguhkan beberapa bir yang Aeri minta.

Hanya gelengan yang keluar sebagai jawaban, pasalnya ia memang sedang memikirkannya matang-matang. Entah benar-benar memikirkan tentang menerima penawaran Taehyung, atau memikirkan membuat beberapa daftar untuk menghabiskan waktunya dengan Hera sebelum ia benar-benar menjadi istri dari seorang pria Kim.

"Aku-tidak punya pilihan, He. Tidak memilikinya satu pun." Ia terisak, menenggelamkan wajahnya pada kedua telapak tangan yang menutupi rautnya. Kemudian kembali merutuk, "Tidak adil! Aku sangat membenci hidupku, He."

Hera merengkuh tubuh Aeri, menggeleng kecil dan memberi usapan kecil mencoba menenangkan tanpa mengucapkan apa pun.

"Kenapa? Kenapa kau menyelamatkanku malam itu, Hera? Aku makin gila rasanya!"

Ya, Hera memang tidak sesekali mendengar Aeri mengucapkan hal seperti itu. Itu terdengar lebih mengerikan di telinga Hera, karena ungkapan itu berarti banyak penyesalan. Entah itu bagi Aeri yang teranjur terjebak dalam kubangan hitam berbentuk cintanya pada Hera. Maupun bagi Hera yang terkadang menyesal karena begitu egois mencintai Aeri sejak awal dan membawanya menjadi monster mengerikan yang distereotikpan orang-orang. Menjadi seorang yang memiliki orientasi seksual yang tidak diakuisisi oleh manusia-manusia di sekitarnya.

"Maafkan aku. Aeri, jika kau memang tidak memiliki pilihan lain, mintalah untuk bersama pria Kim itu. Setidaknya pria berengsek itu akan sedikit menjauh ketika tahu kau telah menikahi seorang pria."

ElaborateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang