Part 9 - Addicted Kiss

22.3K 1.8K 73
                                    

Untuk lapak Russell ini kemungkinan akan slow update.
Sebab aku mau fokus ke Luke.

Semisal Babang update Sabtu nanti, lalu aku gak lanjut update, berarti Babang nggak bisa lanjut ya.

Happy Reading 💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Abby mengekori kemana pun Russell berkeliling di sepanjang pameran itu. Setelah semalam bersitegang tentang makan malam, akhirnya mereka pergi ke restoran dekat hotel dan menikmati makan malam dalam diam.

Merasakan ketidaknyamanan di malam hari, sudah biasa bagi Abby. Hanya saja, dia tidak suka jika harus bersama dengan pria selewat senja. Abby terbiasa menyendiri dan akan tiba di apartemennya sebelum jam tujuh malam, lalu membuat makan malam dan menikmati sisa hari sendirian.

Abby mulai merasa tenang dalam dua tahun terakhir, atau setidaknya dia tidak perlu mengunjungi psikiater untuk sekedar meminta obat penenang. Akan tetapi, beberapa bulan terakhir ini, ketenangan Abby mulai terusik dengan ingatan sekilas tentang masa kelamnya. Seperti ada yang akan mencarinya untuk mengungkit masa-masa yang ingin dilupakan Abby tapi tak mampu.

Goresan-goresan luka dalam ingatan, kesakitan yang dirasakan dalam hati, dan nilai diri yang sudah tak lagi berharga, membuat Abby kembali merasa kekosongan yang semakin kuat. Hanya sedikit harapan yang menjadi kekuatan Abby ketika pagi menjelang, yaitu bekerja, bekerja, dan bekerja. Itu saja.

Abby bekerja bukan karena membutuhkan uang, tapi Abby membutuhkan pengalihan untuk membunuh waktu yang terasa begitu panjang. Hari demi hari berlalu, dan Abby hanya mengharapkan satu hari yang menjadi akhir dari kisah hidupnya. Yaitu kematian.

"Apa kau baik-baik saja, Ms. Zevanya? Kulihat kau lebih sering melamun. Perlu kuingatkan jika saat ini kau sedang bekerja. Jika kau membutuhkan pengalihan, aku bisa menarikmu ke sudut hall atau tangga darurat untuk memberikan kepuasan yang akan membuat kesadaranmu kembali," suara bariton yang terdengar mendesis, diiringi kesan menggoda dari arah samping kanan, membuyarkan pikirannya.

Abby menoleh pada Russell dan mendapati pria itu sedang menyeringai licik padanya. Dia baru tersadar jika Russell adalah satu-satunya orang yang mampu dilawannya dengan posisi seimbang. Meski tidak pernah terpikirkan oleh Abby, tapi Russell seolah memberi kesempatan untuk Abby melawan atau paling tidak berdebat dengannya.

Sungguh. Hanya kepada Russell, Abby bisa menjadi diri sendiri dan menyuarakan isi kepala tanpa ragu. Dia bahkan tidak perlu merasa takut atau bimbang. Terlebih lagi, ketika Russell menyentuh dirinya, reaksi tubuhnya merespon dengan sangat baik dan Abby bisa menikmati.

"Apa kau akan terus memperhatikanku seperti itu?" tanya Russell dengan alis terangkat setengah. "Jangan-jangan kau sudah menyukaiku."

Abby tersenyum sinis mendengar kepercayaan diri yang begitu tinggi dari Russell. "Memperhatikanmu bukan berarti menyukaimu. Aku hanya merasa heran dengan pria urakan sepertimu bisa menjadi seorang CEO yang cukup kompeten dalam melobi calon klien."

"Mungkin karena kau terlalu sering meremehkan CEO-mu sendiri, meski masih jual mahal soal betapa perkasanya diriku saat memberimu klimaks. Tapi tidak apa-apa, waktu yang akan menjawab semuanya," balas Russell santai.

"Anggap saja aku tidak berbicara apa-apa barusan, Sir," cetus Abby.

"Sayangnya sudah kumasukkan dalam hati. Terima kasih atas pujianmu. Aku merasa sedikit terhina karena kau yang langsung menuju ke kamarmu semalam tanpa sekali pun menawarkan kehangatan padaku."

The Heartbreaker (COMPLETED)Where stories live. Discover now